35

19 5 1
                                    

Waktu seakan berlalu lebih cepat yang hanyalah berisi kebohongan dari awal gue bertemu dengan Darma. Hidup penuh dengan kebohongan itu membuat gue ingin cepat - cepat bangkit dari dunia gue sendiri saat ini. Banyak nasehat yang gue dapatkan kala gue tau kebohongan Darma. Dari seluruh keluarga gue yang simpati ketika melihat gue sedih berkepanjangan, sahabat hingga teman - teman yang lainnya berusaha untuk menghibur gue, orang asing yang tiba - tiba bertemu gue di jalan pun siap mendengarkan semua curhat kegalauan gue hingga Bimapun kembali ke hidup gue untuk bisa menghibur gundah gulana yang gue rasa kali ini. Namun, semua itu tidak dapat membantu gue untuk cepat melupakan Darma.

Drrrt... Drtttt...

Dering handphone gue berbunyi pelan menandakan ada chat masuk.

Gue lihat notifikasi chat dari Bima yang lagi - lagi mengirimkan omong kosong. Gue habis pikir sama itu orang, bisa - bisanya dia menulis chat yang sama sekali sangatlah tidak penting buat gue. Menurut dia mungkin gue bisa tertawa dengan lelucon garing yang dia buat. Tapi, faktanya sama sekali tidak. Namun, gue masih menghargai usaha dia untuk dekat dengan gue.

Padahal gue lebih suka dia nge-chat gue to the point, kalau dia rindu dia bisa bilang kalau dia rindu langsung sama gue. Kenapa harus ribet? Kalau dia masih suka sama gue, kenapa gak bilang langsung ke gue kalau dia masih suka sama gue? Kalau dia gak mau gue sakit hati karena Darma, kenapa dia gak pernah ngajak gue balikan? Sesulit itukah bicara dengan gue. Padahal gue berharap ada orang yang bisa bawa gue pergi dari dunia mencintai orang yang bernama Dzul Darma Sati tersebut.

Dengan kesalnya, guepun lekas membaca chat dari Bima.

Bima        : Nadil
Nadiella_ : Iya?
Bima         : Ga papa cuma
Nadiella_  : Cuma apa?
Bima         : Cuma
Bima         : Gak papa ga jadi
Nadiella_  : Cuma... Cuma... Gk jd bingung nadil x?
Bima         : Cuma kngen doang
Nadiella   : Masa😅
Bima        : Iya

Gue hanya bisa tersenyum saat membalas chat dari Bima. Ini yang gue tunggu - tunggu dari dulu, ia bisa mengatakan sesuatu tanpa harus mempertimbangkannya dulu. Karena gue pribadi yang selalu diajari oleh orangtua gue bahwa sesuatu hal yang ingin gue katakan harus cepat - cepat gue katakan tanpa harus berpikir lagi. Kalau gue menyukai sesuatu hal, gue akan langsung mengatakan hal tersebut. Sebaliknya, kalau gue tidak menyukai sesuatu hal maka gue akan langsung mengatakan hal tersebut. Asalkan tidak melukai perasaan orang lain. Namun, kalau suatu hal itu harus gue katakan meski harus menyakiti orang lain gue akan mengatakan hal tersebut dengan lembut dan gaya sopan santun khas Nadiella. Belajar dari peristiwa gue mutusin Bima hanya karena Darma, semua itu adalah pilihan gue untuk tidak membuat luka terdalam untuk Bima. Sebab, gue sangat yakin Bima akan mendapatkan seseorang yang lebih baik dari pada gue. Meskipun, di dalam hati kecilnya masih mengharapkan gue kembali. Sesungguhnya gue, tidak akan bisa kembali ke dalam kehidupan seseorang lagi karena hati dan perasaan gue sudah hancur dibuat Darma. Tidak perduli lagi dengan siapapun yang perduli terhadap perasaan gue. Gue tetap ingin menutup hati gue rapat - rapat untuk siapapun itu.

" Nad... Makan.... " teriak nyokap gue terdengar dari ruang makan.

Gue langsung menghapus air mata gue, " Iya, Ma... Tunggu.... " jawab gue sembari beranjak dari kursi pergi ke ruang makan.

Seluruh keluarga kecil gue berkumpul di ruang makan untuk melaksanakan makan malam bersama. Gue lihat banyak lauk pauk malam ini yang disajikan nyokap gue. Sebenarnya, gue tau menu makan malam ini bukan masakan nyokap gue. Melainkan makanan yang dibeli, sebab nyokap gue sama sekali tidak bisa memasak makanan dengan enak. Tapi yasudahlah, siapa yang perduli yang penting gue bisa kenyang malam ini.

Melihat wajah - wajah berseri orangtua gue dan adik gue Akbar, membuat gue bertekad untuk melupakan sesuatu yang terjadi terhadap perasaan gundah gulana gue kali ini. Gue ingin bangkit dari keterpurukan gue. Mulai saat itu, gue mencari kesibukan selain meratapi nasib gue yang hidup dalam kebohongan Darma.

Gue mulai mencari penghasilan tambahan dengan menulis cerpan di beberapa situs grub Whatsapp. Gue juga sering mengikuti lomba puisi maupun lomba menulis cerpen di berbagai situs. Hingga gue mulai berlatih debat hingga pidato sepulang sekolah seperti orang gila di rumah, hanya untuk melupakan sesaat perasaan yang masih berkecamuk di hati gue.

Ada suatu ketika gue jatuh sejatuh - jatuhnya. Saat itu satu kelas sedang asik membicarakan Darma, gue kemudian kembali mengingat dirinya.

" Lo lihat Kak Darma latihan paskib gak Nad? Kalo lo lihat dia latihan pasti lo bakalan teriak histeris banget liat dia " ucap Nita Hanifa dengan antusias.

Gue hanya bisa diam dan menjawab dengan senyuman. Makin lama mereka membicarakan tentang Darma, semakin panas kuping gue mendengarnya.

" Bisa gak sih kalian ganti topik pembicaraan?" tanya gue dengan nada tinggi.

" Katanya lo udah move on dari Darma. Toh, berarti lo gak bakalan masalah kalo kita - kita bahas si Darma " jawab Nita Agus kesal.

Disambung dengan yang lain menilai bahwa gue harusnya tidak mempermasalahkan kalau mereka membicarakan tentang Darma. Seharusnya, mereka tau tetap saja kuping gue panas kalau mendengar namanya disebut. Untuk gue Dzul Darma Sati itu sudah tiada hilang di telan kegelapan.

Sepulang sekolah, gue kembali ikut ekskul. Gue pikir hari ini akan lebih indah kalau gue menghabiskan waktu dengan banyak - banyak mengekspor bakat gue. Namun, sama seperti di sekolah anggota ekskul lagi - lagi membicarakan Darma. Apalagi Kak Ratu dan Lisa semangat sekali membicarakan tentang Darma. Kuping gue kembali panas, tidak perduli yang gue hadapi kakak kelas yang terpenting adalah agar ia tidak lagi membicarakan Kak Darma di hadapan gue.

Gue menatap Kak Ratu tajam, " Tolong jangan membicarakan orang itu lagi, Kak. Buat Nadil dia itu sudah mati " sembari mengangkat jari telunjuk gue di hadapan Kak Ratu.

" Slow, Nad. You any problem?Yes, No Nad? Dengan lo bertingkah seperti ini membuktikan kalau lo masih sayang sama Darma " ucapnya tak kalah kasar.

Lisa hanya tersenyum lebar melihat gue tidak dapat berkata - kata lagi.

" Gue dengar lo deket sama Salim yah? Bisa - bisanya sih lo habis punya perasaan sama Darma terus dengan mudahnya lo jadiin temennya pelampiasan " tanya Kak Ratu dengan tawa sinis.

Syukurnya waktu pertemuan ekskul sudah habis, sehingga gue dapat menghindari pertanyaan yang di lontarkan Kak Ratu. Gue pun lekas keluar dari ruangan dan tak sengaja saat gue keluar gue langsung disambut dengan wajah - wajah yang sama sekali tidak gue harapkan ada, yaitu wajah Darma si pembohong itu. Ia mulai tersenyum ramah melihat kehadiran gue, tetapi gue sudah muak melihat wajahnya sehingga gue langsung turun menuruni tangga agar bisa lepas dari pandangannya tersebut.

Sepulang dari sekolah, gue lihat ada lomba cerpen di suatu situs. Gue pun mulai menulis naskah cerpen tersebut dengan perasaan yang masih kesal. Selesai gue menulis cerpen tersebut, sama sekali gue tidak merevisi dan membiarkan cerpen itu murni untuk di koreksi teman gue. Namun, teman gue tidak membuat gue semakin baik dengan melontarkan kata - kata komentar yang sama sekali tidak gue harapkan. Ia bilang kalau cerpen gue sama sekali tidak menariklah hingga ceritanya dapat ditebak. Yah, gue akui itu karena imajinasi gue sudah mandek di tengah jalan sehingga gue sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Awalnya gue tersinggung dengan ucapannya, namun gue sama sekali tidak bisa menyalahkan dirinya karena saat itu gue membuat cerpen dengan perasaan yang campur aduk. Ia juga mengatakan bahwa suatu cerita tidak boleh memakai judul bahasa inggris kalau isi ceritanya bahasa indonesia. Namun, tak sependapat dengan gue sebab banyak judul novel bahkan judul film di Indonesia memakai bahasa inggris. Tapi, yasudahlah. Gue tidak ingin banyak berkomentar hingga beradu argumen dengan dirinya. Tidak pantas untuk gue menjadikan dirinya pelampiasan kemarahan.

BIG BANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang