04

6.9K 236 2
                                    

.
.
.
.
.
.

Yoongi tersenyum penuh arti, merasa sangat beruntung telah menciptakan peraturan surat kontrak yang menurut orang lain mungkin gila. Di denda dengan uang seratus juta, mungkin untuk kebanyakan orang akan berpikir ulang untuk bekerja di perusahaanya. Tapi Yoongi memanglah sosok seperti itu, sosok tegas dalam hal apa pun termasuk bagi para karyawan yang ingin bekerja di perusahaanya.

Seperti dengan Wendy saat ini, wanita itu tidak akan mudah pergi begitu saja dari perusahaannya, sebelum mempertanggung jawabkan surat kontrak yang sudah ditanda tanganinya. Terlebih karena Yoongi memang sudah tergoda akan tubuh wanita itu, membuatnya harus mempertahankan Wendy di perusahaannya, sampai Yoongi bisa mendapatkannya.

Berbeda dengan Yoongi yang terlihat tenang, dengan seribu pikiran jahat yang berada di otaknya. Wendy saat ini justru melongo, merasa tidak percaya dengan ucapan bosnya yang baru didengarnya. Rasanya, ia sudah tidak bisa berpikir lagi, selain ingin menangis sekarang, saking kecewanya ia akan keputusan yang harus diterimanya.

"Apa, Pak? Seratus juta?" Wendy bertanya dengan nada tak percaya, seolah hal itu sangat mustahil untuk dipenuhinya. Itu karena Wendy sendiri bukan berasal dari keluarga berada, jadi cukup mencengangkan untuk wanita itu bisa terima. Karena baginya, uang dengan jumlah seratus juta sangat lah besar, dan dari mana Wendy akan mendapatkannya. Meskipun wanita itu meyakini, bila dirinya memiliki tabungan yang lumayan banyak tapi tidak sampai sebesar itu. Terlebih lagi, uang tabungannya itu juga akan dibuat untuk membantu membayar keperluan pernikahannya, untuk sedikit meringankan beban orang tuanya.

Sedangkan Yoongi saat ini justru mengangguk mantap, meski ekspresi dinginnya masih setia lelaki itu pertahankan. Tentu, tidak akan Wendy sadari bagaimana senyum licik Yoongi terbentuk begitu samar, seolah ingin menertawakan kesusahan wanita didepan saat ini.

"Tapi, Pak. Sebentar lagi saya akan menikah ...," ujar Wendy masih terdengar tak percaya, bila hal ini bisa menimpa hidupnya terutama kebahagiaan yang diimpikannya.

"Saya tidak peduli akan hal itu, Wendy." Yoongi menjawab tenang, meski di dalam hati, lelaki itu sangat peduli akan pernikahan Wendy yang ingin lelaki itu hancurkan.

"Bila kamu mencoba untuk kabur, sebelum batas waktu kerja yang sudah ditentukan. Bersiap-siaplah untuk dituntut perusahaan ini, karena secara tidak langsung, kamu sudah melanggar kontrak yang sudah kamu tanda tangani sendiri dengan perusahaan ini." Yoongi kembali berujar sembari mendirikam tubuhnya dari kursi kebesarannya, sedangkan matanya terus saja tertujuh ke arah Wendy yang saat ini tengah tertunduk dengan seribu pemikiran yang berkecambuk di otaknya. Membuat Yoongi diam-diam tersenyum sinis menatap wanita itu dalam kepasrahan, karena rasanya sangat menyenangkan melihat seorang wanita tidak memiliki pilihan lain untuk tidak menerima keputusan yang ada.

"Baiklah, Pak. Saya permisi dulu." Wendy segera berpamitan, kala tatapannya baru menyadari keberadaan Yoongi yang telah mendirikan tubuhnya seolah ingin mendekatinya. Membuat Wendy buru-buru pergi dari ruangan bosnya yang menyebalkan itu, setidaknya Wendy harus menjaga tubuhnya meskipun saat ini ia sangat merasa sedih, karena tidak bisa mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja saat ini.

***

Wendy berlari menuju ke arah meja kerjanya, di iringi air mata yang sudah mengalir di pipinya. Membuat Irene yang baru menyadarinya, sekitika mendirikan tubuhnya sembari menatap kedatangan Wendy dengan sorot mata khawatir selaligus penasaran, dengan apa yang sebenarnya sudah terjadi pada wanita itu.

"Astaga, Wen, Ada apa?" Irene segera memeluk tubuh Wendy begitu erat, seolah ingin menenangkan wanita cantik itu dan mengatakan bila semua akan baik-baik saja.

"Pak Yoongi ... Mba." Wendy menjawab gelisah, membuat Irene segera melepaskan pelukannya.

"Kamu yang tenang dulu ya. Sekarang, lebih baik kita duduk dulu," ujar Irene sembari menggiring tubuh Wendy untuk duduk di kursi kerjanya, diikuti Irene yang turut duduk di kursinya sendiri.

"Sekarang, cerita sama aku. Ada masalah apa, wen? Pak yoongi kenapa?"

"Aku tidak bisa mengundurkan diri dari perusahaan ini, mba Irene Karena aku sudah terikat kontrak dengan perusahaan ini, dan bila aku memaksa untuk berhenti bekerja di sini, aku harus membayar denda uang sebesar seratus juta." Wendy menjawab lirih, yang ditatap iba oleh Irene yang duduk di depannya. Merasa sangat mengerti dengan apa yang Wendy rasakan sekarang, seperti bagaimana kita harus menjalani kehidupan yang tidak kita inginkan, demi kehidupan orang lain, seperti yang Irene rasakan saat ini.

"Pak Yoongi memang seperti itu, Wendy. Dia sangat tegas dalam hal pekerjaan apa pun, meskipun kelakuannya bisa dikatakan sangat buruk. Tapi yang aku tahu, dia tidak suka dipermainkan, terlebih dengan orang yang bekerja di perusahaanya." Irene menjawab lirih, berharap Wendy itu mau mengerti, bila bos di tempat mereka bekerja itu bukan lah orang yang bisa diremehkan, terlebih lagi dengan orang seperti mereka.

***

Setelah keluar dari mobilnya, Yoongi berjalan ke arah pintu di mana keluarganya tinggal di sana. Sedangkan kedua tangannya membawa beberapa papper bag, di mana isinya adalah berbagai macam makanan yang baru Yoongi beli di sebuah kafe, saat di perjalannya ke rumah orang tuanya tersebut.

Tiba-tiba langkah Yoongi berhenti, menatap pintu besar bercat putih itu dengan sorot mata merindu. Ya, itu karena Yoongi jarang sekali pulang ke rumah orang tuanya, jangankan untuk menginap, sekadar bermain dan menjenguk orang tuanya saja jarang.

Apalagi saat ini, sudah hampir empat bulan lamanya, Yoongi tidak pernah ke rumah orang tuanya, membuat lelaki itu yakin bila sebentar lagi telinganya akan mendengar cibiran sinis dari bibir Mamanya. Yang memang suka sekali cerewet ke hal apa pun yang tidak disukainya, banyak bicara, banyak cerita, dan masih banyak lagi sifat buruk Mamanya, yang sebenarnya sangat Yoongi rindukan.

Yoongi menghembuskan napasnya, berharap bisa menenangkan kembali perasaanya yang sedari tadi serasa gelisah. Itu memang sering terjadi, dan kebanyakan di antaranya itu karena Yoongi merindukan sosok Jennie.

Wanita cantik yang sudah mengkhianatinya, tapi masih memiliki tempat yang lebar untuk berada di singgasana jiwanya. Masih tertulis indah namanya di dinding hatinya, meski sebagian di antaranya sudah remuk oleh cintanya sendiri.

Yoongi menggeleng pelan, berharap bisa mengenyahkan pikirannya akan sosok Jennie. Lalu kaki jenjangnya kembali melangkah ke arah pintu, lalu membuka papan datar itu tanpa ada ucapan kata permisi sebelumnya.

"Ma," teriaknya tak terlalu meninggi.

"Yoongi pulang," lanjutnya lagi. Tak mendapat sahutan, kaki Yoongi kembali melangkah ke arah ruang keluarga, di mana biasanya Mama dan Papanya beserta Adiknya dan Suaminya berada di sana.

Di sebuah ruangan luas, di mana ada TV dan sofa yang melingkar di depannya. Yoongi menatap Mamamya sedang menyenderkan kepalanya di dada Papanya, sedangkan tatapan ke duanya tertujuh ke arah layar TV, yang mana tengah memutarkan sebuah film bergenre romantis.

Di balik senderan itu, Yoongi baru menyadari bila Mamanya tengah menangis, terlihat dari caranya mengusap mata dan hidungnya beberapa kali dengan tisu kering. Mungkin saking terharunya wanita itu akan film yang saat ini ia tonton, namun berbeda dengan Papanya. Pria tua baya itu justru menampilkan ekspresi kesal, dengan sesekali berdecap tak percaya kala menatap Istrinya yang begitu lebay saat menonton TV.

"Yoona, kamu bisa tidak sih, tidak menangis saat menonton film ini? Bahkan kamu sudah menontonnya ratusan kali, tapi kamu tetap menangisinya? Astaga. Tidak bisa dipercaya." Kini Yoongi tersenyum tipis, menatap ke arah Papanya yang terlihat begitu kesal tengah menegur Istrinya yang memang suka sekali cengeng acap kali menonton film sedih.

"Aku hanya terharu, teuk." Kini Mamanya mencoba membela diri, meski suaranya sudah terdengar serak oleh tangis. Sedangkan kondisi matanya jangan ditanya lagi, karena mata indah itu sekarang memerah karena air mata yang mungkin sedari tadi dikeluarkannya.

"Bagaimana mungkin kamu terharu dan menangis ratusan kali, hanya karena kamu melihat satu film yang sama?"

"Aku kasihan, teuk, sama si cowoknya yang rela mati demi ceweknya." Yoona kembali membela, sedangkan bibirnya saat ini semakin cemberut, saking tidak percayanya ia akan Suaminya yang begitu tega memarahinya, hanya karena ia menangis.

"Itu kan cuma sebuah film, Yoona." Min teuk menjawab malas, merasa lebih tak percaya melihat tingkah laku Istrinya yang tidak pernah berubah, padahal umurnya sudah paru baya sekarang.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc

Tunggu cerita selanjutnya ya...

Really Bad Boy [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang