.
.
.
.
.
.
.
.Di meja kerjanya, Wendy dan Irene begitu fokus mengetik di papan keyboard komputer. Mereka terlihat begitu serius dan profesional melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Sampai saat Irene menarik tubuh dan tangannya ke atas, berharap bisa mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Lalu menyenderkan punggungnya di kursi, untuk merilekskan tubuhnya sejenak.
Membuat Wendy yang baru menyadarinya seketika tersenyum sembari menggelengkan kepalanya pelan seolah merasa maklum. Yang memang Wendy sendiri mengakui, bila pekerjaan sebagai Karyawan di kantor itu memang cukup berat, meski hanya duduk dan mengetik, tapi dalam waktu hampir seharian penuh dan itu sangat melelahkan.
"Capek ya, mba?" Wendy bertanya sembari tersenyum kecil, tanpa mau menghentikan aktivitas mengetiknya.
"Iya nih, leher rasanya kaku banget." Irene menjawab lirih sembari membengkokkan lehernya ke kanan dan ke kiri, berharap bisa sedikit nyaman setelah melakukannya.
"Ya istirahat saja lah. Toh, sebentar lagi kan jam makan siang," ujar Wendy yang hanya diangguki pasrah oleh Irene. Membuat wanita itu lagi-lagi menggeleng pelan, melirik teman kerjanya itu dengan sorot mata mengerti. Sedangkan dirinya sendiri masih mengetik semua pekerjaannya, merasa tanggung bila menghentikannya.
"Kamu sendiri apa tidak lelah, Wen?" Irene kini balik bertanya, merasa khawatir juga dengan kondisi teman barunya itu. Membuat wendy tertawa kecil dan menghentikan aktivitasnya lalu menatap Irene, dengan sorot mata memicing.
"Apa kamu tidak bisa melihat wajahku yang sudah hampir mengisut ini?" Irene hanya menggeleng polos, kala Wendy bertanya hal itu. Membuat wanita cantik itu kian tertawa melihat tanggapan Irene, yang seolah sudah sangat lelah tapi masih terlihat penasaran dari ekspresi wajahnya.
"Tentu saja aku sedang merasa lelah, mba irene. Pekerjaan seperti ini mungkin terlihat mudah, tapi kenyataannya sangat melelahkan juga." Wendy menjawab lesuh, sembari meregangkan jari-jarinya di hadapan Irene.
"Lihat, jari-jariku bahkan hampir mengkriting, saking lelahnya." ucapnya lagi
"Gampang. Nanti tinggal catok di salon sebelah kantor," jawab Irene terdengar menggoda, yang nyatanya berhasil membuat Wendy tersenyum hambar kala menatapnya.
"Lucu." Wendy menjawab malas. Membuat Irene tertawa lepas melihatnya, yang anehnya berhasil mengurangi rasa lelahnya. Memang benar kata orang, tawa bahagia adalah obat dari segala rasa lelah.
Entah itu hanya dengan melihat tawa orang yang kita cintai, atau justru dari tawa kita sendiri, tapi nyatanya hati serasa dibuat lega bila melakukannya.
"Bercanda sih. Oh iya, nanti di kantin kamu mau makan apa?" Irene menyahut santai sembari bertanya, membuat Wendy sedikit berpikir untuk menjawabnya.
"Emh ... nasi uduk, sepertinya enak. Aku sudah lama tidak memakannya, kalau kamu sendiri mau makan apa mba?" Tanya Wendy balik
"Entahlah. Aku tidak terlalu menyukai nasi uduk, mungkin aku akan beli nasi goreng untuk makan siangku." Wendy hanya mengangguk setuju, mendengar keinginan Irene. Sampai saat ada seorang wanita yang tak kalah seksinya dengan penampilan Irene, datang ke arah meja bingung. Membuat Wendy mau pun Irene merasa bingung, dengan kedatangan wanita itu di waktu makan siang seperti ini, terkesan tiba-tiba, karena memang mereka tidak terlalu akrab dengannya.
"Wendy bukan?" Wanita itu bertanya sembari menunjuk ke arah wendy, yang saat ini masih terlihat bingung dengan maksud kedatangan wanita itu.
"Iya. Kenapa ya, Mba?" Wendy bertanya sopan ke pada wanita itu, yang umurnya bisa diperkirakan sama dengan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Really Bad Boy [ COMPLETED ]
Romance(Konten 21++) "Dia mengambil keperawananku dengan paksa. Kini aku mengandung anaknya" - Wendy Bagaimana kehidupannya setelah itu? Akan kah Wendy bisa bahagia.