11. Tahun Baru

726 73 1
                                    

Jam tujuh malam mereka bertiga meluncur turun kembali ke kota. Jalanan padat, khas Jogja di akhir tahun. Mobil sepi, masing-masing mungkin lelah, mungkin juga lapar. Keheningan yang segera saja dipecahkan oleh suara Fajar, "Lah ini malam tahun baru?"

Kinan dan Rian mendesis bersamaan, mendecak heran, "Kok lu baru nyadar sih?"

Fajar duduk tegak dan mendadak antusias, "Kita rayain di mana?"

"Ini juga kan baru otw, Jay," jawab Rian. "Kinan nggak apa, kan? Udah bilang sama kakak kamu?" tambahnya.

"Udah, sih, kubilang diculik seharian. Mbak Tita juga ada acara sama temen-temennya," jawab Kinan.

"Kita ke rumahku ya," ujar Rian singkat.

"Mantap, Jooom," Fajar menepuk-nepuk lengan partnernya sambil tertawa.

Kinan terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Mobil melaju ke arah selatan, Bantul. Menembus keramaian dengan sedikit tergesa, sebelum semua kendaraan benar-benar tumpah ruah di jalanan. Jogja macet. Tapi ini belum seberapa. Semakin malam jalanan pasti semakin menggila, apalagi di daerah-daerah wisata atau pusat perbelanjaan. Pilihan Rian untuk membawa Fajar dan Kinan tahun baruan di rumah tampaknya benar, daripada harus bermacet-macet ria di pusat Jogja.

Menjelang jam setengah sembilan mereka sudah masuk di daerah Banguntapan. Jalanan tentunya tidak seramai di pusat kota tadi. Tapi cukup riuh juga di sini. Menyusuri jalanan perkampungan, kanan-kiri banyak orang berkumpul. Ngobrol di teras rumah, bermain kembang api, berjongkok bakar-bakar sate.

Rian menepikan mobilnya di depan sebuah rumah, masuk ke carportnya. Ini dia rumah Rian. Rian turun duluan dan langsung menuju pintu utama, dengan Fajar menyusul di belakangnya membawa ranselnya. Kinan bergerak pelan, sedikit ragu sedikit malu.

Seorang wanita paruh baya menyambut mereka, itu ibu Rian, "Nak Fajar, Alhamdulillah bisa ketemu lagi," Fajar buru-buru menyalaminya penuh hormat, membungkuk mencium tangan.

Ibu Rian tampak sangat bahagia. Mereka tampaknya sudah pernah bertemu. Ya pasti, lah. Emangnya kamu, Ki. Pikir Kinan. Fajar menarik tangan Kinan dan memperkenalkannya, "Ibu, ini Kinan, adek saya. Tadi seharian main sama dia."

Kinan tersenyum kecut. Adek apaan, pikirnya. Kemudian menjabat tangan Ibu Rian, "Saya Kinan, Ibu..."

"Main ke mana aja tadi? Ayo masuk dulu, udah pada mulai bakar-bakaran, di sebelah, tuh," Ibu Rian menuntunnya ke ruang tamu, mempersilakannya duduk.

Di atas meja tamu sudah ada toples-toples penuh makanan, dan piring-piring kue serta gorengan. Rian dan keluarga besar juga beberapa tetangga rupanya berkumpul bersama untuk acara tahun baru ini. Mereka sudah di pekarangan sebelah rumah Rian. Akan ada acara bakar-bakar sate dan jagung.

Setelah istirahat sebentar dan sholat Isya, Kinan, Fajar, dan Rian bergabung. Kinan mudah saja berbaur karena keluarga Rian sangat terbuka dan ramah. Khas orang Jogja. Sementara Fajar..., tetap menjadi Fajar, yang berisiknya luar biasa namun membawa keceriaan. Rian bukanlah menjadi laki-laki kalem dan pendiam. Dia banyak tertawa dan bergurau, sambil mengipas jagung di atas arang. Fajar duduk di sebelahnya dan hanya tertawa-tawa.

Kinan melihat pemandangan itu tertawa geli. Ia membantu Ibu Rian dan sepupunya mengiris dan menusukkan sate, sambil ngobrol ringan seputar kuliah dan kehidupan Kinan. Tak terasa semua makanan selesai disiapkan dan mereka makan bersama. Duduk melingkar di atas tikar yang digelar, mengedarkan piring-piring berisi nasi dan lauk, juga gelas dan teko-teko besar berisi air minum.

Kinan duduk bersila di sebelah Fajar, membawa piring nasinya lengkap dengan sate dan gorengan. Fajar masih bercakap-cakap dengan beberapa pemuda, yang mungkin tetangga Rian. Atau bisa jadi saudaranya, karena di Jogja tetangga pun dianggap saudara.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang