37. Cerita Rian

545 56 1
                                    

--Rian
Gue memang sudah merencanakan hari ini, gue bawa Fajar ke rumah Kinan. Dan gue masuk duluan, untuk meyakinkan Kinan bahwa dia harus berbicara dengan Fajar.

Yang nggak gue rencanakan adalah gue mengakui perasaan gue ke Kinan. Dan walaupun gue dari awal tau bahwa perasaan gue nggak berbalas, tapi tetap ada rasa perih ketika Kinan menangis di pelukan gue, meminta maaf pada gue. It's okay, gue udah paham sejak awal.

Maka gue berusaha mengenyahkan perih itu ketika gue kembali ke mobil dan mengetuk kacanya.

"Lama banget lu," kata Fajar bete dan keluar mobil.

"Gue udah jujur ke Kinan. Sekarang giliran lu," gue cuma bilang begitu dan balik ke rumah Kinan.

Dan sekarang gue duduk di seberang Kinan lagi, dengan Fajar masih di ambang ruang makan. Kinan melihat Fajar dengan tatapan terkejut, namun lega sekaligus. Dia memang sepertinya kangen banget sama Fajar. Sementar Fajar nyengir nggak jelas.

Gue berdeham, "Ehem. Aku tinggal ya, Ki. Jangan ada salah paham lagi di antara kalian."

Gue berdiri, mendekat ke Kinan, dan menepuk pelan puncak kepalanya. Dia mendongak. Gue tersenyum, dan gue harap senyuman gue terlihat sangat tulus. Dan gue berlalu sebelum Kinan bisa menahan gue. Gue masuk ke mobil dan menyalakan mesinnya, melaju entah ke mana. Gue nggak ada tujuan, yang penting jalan aja. Untungnya jalanan nggak terlalu ramai, jadi gue bisa jalan pelan sambil pikiran gue mengulang gambaran-gambaran dari bertahun lalu.

Yogyakarta, 2013.
Akhir tahun, di desa gue ada acara Bakti Sosial dari UGM. Rangkaian acaranya ada bazaar dan pemeriksaan kesehatan. Gue diminta Ibu untuk ke rumah Mbah Parto, tetangga gue yang rumahnya dekat Masjid. Mbah Parto tinggal sendiri, dan beberapa hari ini sakit. Gue diminta mengantar Mbah Parto ke acara Baksos di Balai Desa.

"Uwes, gek ndang mangkat, mengko antri," kata Ibu waktu gue masih main hape di teras.

Gue segera naik motor ke rumah Mbah Parto, dan beberapa kali meyakinkan beliau untuk ikut gue ke Balai Desa. Balai Desa ramai. Orang-orang antri di depan meja-meja yang tertata dengan paket sembako digelar di atasnya. Sebagian di lapangan pojok, memilih-milih baju pantas pakai. Ruangan Balai Desa sendiri sudah disulap menjadi seperti rumah sakit, dengan beberapa bilik berisi tempat tidur, dan meja-meja yang dihuni orang berstetoskop tempat konsultasi atau pemeriksaan awal.

Gue menuntun Mbah Parto, sambil masih berdebat kecil dengan beliau.

"Aku wegah nek disuntik, ora usah," Mbah Parto masih ragu periksa karena nggak mau disuntik.

"Ora, Mbah, ora. Diperiksa tok, diparingi obat tok, ora disuntik," jawab gue.

Gue dan Mbah Parto sampai di meja registrasi, dan gue mengisi data Mbah Parto. Kemudian seorang cewek dengan rambut tergerai sebahu dan berkacamata, mengenakan kaus panitia dan ID Card, menghampiri. Gue melihatnya dan otomatis menyelidik, menilainya. Cantik. Polos. Sederhana.

"Monggo, Mbah. Sugeng enjing. Gerah nopo, Mbah?" tanya cewek itu dengan Bahasa Jawanya yang halus. Sumpah, dari sekalimatnya aja gue bisa tau dia ini alus banget Bahasa Jawanya.

"Aku emoh nek disuntik," kata Mbah Parto lagi menolak digandeng cewek itu.

Cewek itu tetap melingkarkan tangannya di tangan renta Mbah Parto, dan menuntunnya ke meja pemeriksaan, sambil meyakinkan Mbah Parto bahwa nggak akan ada adegan suntik menyuntik. Empat langkah, dan dia menengok ke arah gue, yang masih diam di depan meja registrasi.

"Sini, Mas, ikut temenin Mbah-nya," kata cewek itu.

Gue menyusul mereka dan menemani Mbah Parto diperiksa oleh salah satu dokter. Gue duduk di sebelah Mbah Parto. Cewek itu masih menemani gue dan Mbah Parto, berdiri di dekat kami, mendengarkan setiap percakapan kami. Gue melirik ID Card-ya. Tertulis di sana, Kinanti Dewi Oktaviani.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang