26. Jatuh

615 55 0
                                    

Kinan terbangun dengan badan yang pegal, mata yang berat, namun hatinya menggelembung dan senyumnya tidak pernah surut. Entah apa yang merasukinya semalam, tapi Kinan berhasil tidur dengan nyenyak dan bangun dengan semangat. Mungkin karena dia tahu sapaan pertamanya di bawah pagi Jakarta adalah Fajar.

Jam sembilan pagi Kinan masih merapikan barang-barangnya ketika di ponselnya masuk pesan yang memberitahukan bahwa Fajar sudah di bawah, menunggunya. Tidak seperti biasanya, beberapa kali Kinan mematut diri di cermin. Mengikat rambutnya seperti ekor kuda, merapikan poninya, kemudian melepas ikatan untuk menggerai rambutnya, merapikannya lagi, dan menyerah. Kinan keluar dengan rambutnya yang tergerai seperti biasa, sejumput rambut dari pelipis kanan kirinya dijepit di bagian belakang. Kacamata bingkai cokelat bertengger di hidungnya setelah tadi berkali-kali ia gosok agar bersih. Sebuah kegiatan yang seumur hidup baru dilakukannya sekali ini.

"Lama bener, yaampun," gerutu Fajar begitu Kinan membuka pintu mobil.

Di balik kemudi ada Rafli, sepupu sekaligus manajer Fajar, dan di sebelahnya Rian memutar badan dan menyapanya. Sementara Fajar di belakang Rafli dan bersender dengan wajah tidak sabar.

"Ya namanya cewek, kan, butuh dandan, Jay. Makanya lu punya cewek," ledek Rafli. "Kinan apa kabar?" lanjutnya mengulurkan tangan ke Kinan.

"Baik, A. Lama nggak ketemu," Kinan menjabat tangan Rafli. Rafli dulunya juga geng anak-anak kompleks di Bandung yang sering bermain bersama setiap sore.

Sambil ngobrol ringan yang dihiasi dengan gerutuan Fajar, Rafli mengemudikan mobilnya menembus jalanan Jakarta Timur di Sabtu pagi. Sepuluh menit pertama Kinan fokus mengobrol dengan Rafli dan Rian, nyaris tidak berbicara langsung pada Fajar. Entah bagaimana, tapi Kinan belum siap untuk bertemu mata dengan Fajar. Ada gemuruh di perutnya yang tidak bisa ia jelaskan, yang ia selamatkan dengan ngobrol dan bercanda bersama Rafli dan Rian.

Mereka mampir sarapan di warung nasi uduk yang sangat ramai. Beberapa pengunjung yang menyadari kehadiran Fajar dan Rian sempat meminta foto bersama. Kinan dan Rafli bergantian menjadi juru foto. Baru kali ini Kinan merasakan aura bintang Fajar dan Rian, yang tidak bisa tidak menarik perhatian orang di sekitarnya.

"Lu baru sekali ini, Ki, liat Fajar Rian dikerubuti fans?" tanya Rafli sambil menghabiskan es tehnya.

Kinan dan Rafli masih di meja makan, menunggui Fajar dan Rian yang sedang melayani penggemarnya.

Kinan mengangguk, "Iya, A. Beberapa kali kalo ketemu Fajar pasti pas sama keluarga, dan nggak di tempat rame begini."

Rafli tertawa sambil menoleh ke arah Fajar dan Rian yang masih berfoto bersama beberapa pengunjung setelah selesai makan. Kinan ikut melihatnya. Melihat Fajar yang senyumnya tidak pernah hilang. Menyalami fans-nya satu persatu, dan melayani permintaan mereka mulai dari foto bersama, video boomerang berbagai gaya, tanda tangan, ataupun mengucapkan beberapa kalimat di depan ponsel fans-nya. Kinan masih betah melihat Fajar, dengan senyum lebar khasnya itu.

Dan kemudian Kinan menangkap mata Fajar.

Dua detik, dan Kinan langsung sibuk dengan gelas es jeruknya yang sudah tandas.

"Eh, Buuuk, kalo habis tambah lagi minumnya," ujar Rafli sambil tertawa mendengar Kinan menyedot ruang kosong di sela-sela es batu.

Kinan menggeleng dan mengacungkan jempolnya. Sepuluh menit kemudian, mereka baru benar-benar bisa lepas dari para fans, dan kembali ke mobil. Sepanjang jalan seisi mobil lebih banyak diam, mungkin menelan kenyangnya masing-masing. Kinan menatap ke luar melalui jendela, dan beberapa saat kemudian ia tersadar bahwa ia tidak tahu ke mana ketiga lelaki ini akan membawanya.

"Eh, kita ke mana sekarang?" tanya Kinan pelan, yang ternyata hanya didengar oleh Fajar.

"Bandara, lah," jawab Fajar.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang