20. Jakarta

603 63 1
                                    

--Fajar
"Lu di Jakarta?" gue nggak ngerti kenapa nada suara gue tiba-tiba tinggi, penuh tuduhan dan amarah.

Dan Kinan diam. Dia nggak jawab, nggak juga mengelak, bikin gue semakin... marah? Kenapa pula gue marah? "Kinan, jawab. Lu di Jakarta?"

"I..., iya, Jar," Kinan kedengeran takut.

Suuueee! "Kenapa nggak bilang gue, sih? Jadi acara pameran lu tu di Jakarta?"

"Iya, Jar..."

"Kenapa nggak bilang gue? Jawab, heh!"

"Ya... soalnya..., kan kamu juga ada acara. Aku juga. Kan susah ketemu."

"Gue nggak goblok ya, gue juga tau kalo itu. Tapi tetep, kenapa nggak kasih tau gue? Tinggal bilang apa susahnya?"

"Ya karena kita nggak akan ketemuan juga, kan?"

--Kinan
"Ya karena kita nggak akan ketemuan juga, kan?"

Betul, kan jawabanku? Toh aku di Jakarta juga nggak akan ketemu Fajar. Kami sama-sama punya acara. Dan bukannya Fajar akan lebih kecewa kalau tau aku di Jakarta tapi nggak bisa ketemu? Makanya sekalian aku nggak bilang.

Fajar diam cukup lama. Aku sampai bisa dengar napasnya. Keras, berisik. Awalnya dengan ritme cepat, kemudian berangsur-angsur tenang. Fajar marah. Sudah jelas sekali Fajar marah. Pertanyaannya: Kenapa? Dan dari mana, sih, dia tau kalau aku di Jakarta?

"Jar..., aku minta maaf," dan aku menjelaskan alasanku kenapa merasa nggak perlu bilang ke Fajar kalau aku ke Jakarta. Dengan kata-kata yang kupilih aman. Dengan tenggorokanku yang tercekat. Dengan sangat hati-hati, agar Fajar nggak tau aku hampir menangis takut sama marahnya.

--Fajar
"Jar..., aku minta maaf," hadeuh, ini bocah kayanya hampir nangis.

"Jar, kamu tau, kan, kalo aku on schedule banget? Dan kamu juga, to? Kita punya acara masing-masing, Jar. Dari pagi sampe malem. Akan sangat tidak mungkin buat main atau jalan-jalan," Kinan mulai bicara. Dari suaranya gue tau dia hampir nangis.

"Aku mau banget, Jar, main sama kamu. Jalan-jalan. Kita udah lama nggak ketemu. Aku susah ke Jakarta. Kamu pun sibuk, kan? Aku pikir lebih baik kamu nggak tau sekalian kalo aku ke Jakarta. Biar kamu fokus, Jar. Biar aku juga fokus, nggak ngerepotin kamu minta ketemu atau main," lanjut Kinan.

Hati gue mencelos. Ini anak, padahal gue yang marah-marah, padahal gue yang memperkarakan, dia yang maaf duluan. Gue kehabisan kata-kata. Dan sebenernya gue takut kata-kata yang keluar akan tidak pantas. Gue masih bisa merasakan marah di dalam, walaupun napas gue udah gue berusaha tenangin.

Dan sementara Kinan kasih penjelasan tadi, ternyata Jombang berdiri di belakang gue yang tengkurep di kasur. Lah, sejak kapan dah dia masuk? Dan... wow, ini telepon loudspeaker. Gue nengok ke Jombang, menerima tatapannya dan bisa ngebayangin dia ngomong, "Apaan sih, Jay?"

Gue bales natap dia, masih sambil diam. Berusaha menyampaikan pesan hush pergi lu Jom. Tapi dia malah ngambil hape gue dan mendekatkan ke mulutnya, sambil jalan menjauh, duduk di kursi dekat jendela. Gue mau ngerebut hape gue nggak keburu, karena susah bangun cepet dari posisi tengkurep begini. Gue baru berhasil duduk di kasur waktu gue denger Jombang ngomong, "Kinan, ini Rian."

--Kinan
"Kinan, ini Rian."

Hah? Gimana? Setelah aku kasih penjelasan panjang lebar dan Fajar diem nggak ada suara, tiba-tiba telepon diambil alih Rian?

"Halo, Kinan?" Rian memastikan apakah aku masih di ujung telepon.

"Eh, iya, Yan... Fajar ke mana?" jawabku bingung.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang