15. Cemas

678 60 4
                                    

Senin pagi. Seharian ini, lagi-lagi Kinan hanya bermalas-malasan di rumah. Dia tidak ke kampus hari ini, tidak ada janjian degan pasien maupun dosen, juga tidak ada kewajiban mengumpulkan tugas laporan atau makalah. Mbak Tita sampai di rumah sekitar jam tujuh pagi, dan sudah berangkat lagi jam sepuluh. Gila memang, gila kerja.

Kinan bersih-bersih rumah seadanya, delivery makan pagi dan siang dalam satu waktu. Kenapa, sih, bisa semager ini, pikir Kinan. Kinan kemudian mendapat ide untuk mengecek kalender, dengan masih berguling di kasurnya. Oh, welcome back serangan hormon.

Hari ini hujan seharian. Benar-benar seharian, dari tadi malam, sampai sekarang menjelang jam dua siang. Yogyakarta dan hujan adalah kombinasi menarik yang akan mengurung siapapun, membuat siapapun mematung. Seperti Kinan yang masih memainkan ponselnya di atas kasur, seperti yang dilakukannya dua jam belakangan. Pikiran Kinan melayang ke Basel, Swiss, menghitung beda zona waktu.

Di Basel sekitar jam delapan pagi. Ponsel Kinan berhenti menampakkan layar chatroom nya dengan Fajar, yang hanya ia pandangi selama semenit penuh. Kemudian Kinan menutupnya, mengurungkan niat untuk mengganggu sahabatnya. Kinan membuang napas keras-keras, berharap bisa membuang semua kecemasan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Kinan mendesis tidak sabaran, kesal akan sesuatu.

"Kenapa, sih kalo PMS jadi serba kepikiran begini," gerutunya.

Kinan keluar dari kamarnya, berjalan gontai dan kembali mengambrukkan badannya di karpet depan televisi. Kinan membenamkan wajahnya di bantal-bantal raksasa ruang keluarga, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, menepiskan kecemasan entah apa yang menggerogoti dirinya.

"Haaah!" gerutu Kinan lagi.

Kemudian diraihnya ponsel di dekatnya, dan langsung dipencetnya panggilan ke Fajar. Empat dering tunggu, dan muncul suara di ujung sana, "Hm?" suara parau Fajar.

"Bangun," balas Kinan.

"Iya, udah."

"Banguuun."

"Apasiiih."

"Nggak apa."

"Hah apaan?" Fajar meminta mengganti mode panggilan menjadi panggilan video. Dan di sanalah, Fajar masih menempel dengan bantal.

Kinan terkekeh, secuil cemasnya hilang, lenyap ke udara, "Mana oleh-oleh medali aku?"

Fajar hanya tersenyum dengan mata rapat menutup, masih ngantuk.

"Selamat, Fajar Alfian. Keren banget."

"Thank you..."

Hening sejenak.

"Lagi apa?" tanya Fajar.

"Gabut," jawab Kinan singkat.

"Nelpon gue pas gabut? Lu PMS?" tiba-tiba suara Fajar tidak lagi parau dan wajahnya tidak lagi ngantuk.

"Ck," Kinan berdecak. Sedikit kesal, dan sedikit kagum karena Fajar sampai hapal dengan periodenya. Ya, tentu karena kelakuan Kinan yang selalu siap menggerecoki Fajar sebagai pelampiasan.

"Ketauan lu, PMS ya? Udah biasa gue lu gangguan gini, Ki. Gue sih sabar," cerocos Fajar.

"Sabar Karyaman Gutama?" gurau Kinan.

"Cie..., naksir ya? Udah nggak naksir Jombang lagi?"

"Maaf, Pak, kapan saya pernah naksir partner Bapak?"

"Lu tu dari dulu gue comblangin nggak mau. Keburu laku si Jombang."

"Eh, Rian punya pacar?"

"Eee kepo lu. Admin akun lambe, ya?"

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang