40. Tentang Fajar

1.3K 67 17
                                    

2022
Amsterdam Schiphol Airport

--Kinan
Deru mesin-mesin pesawat terdengar lebih halus di tempatku berdiri. Aku tepat berada di bawah tulisan raksasa, tempat semua orang berharap mudah ditemukan. Hari ini aku ditugaskan menjemput serombongan mahasiswa dari Indonesia yang mengikuti konferensi di sini, di Belanda. Tahun-tahun berlalu, dan aku masih di sini, di negeri orang. Meninggalkan semua yang aku cinta di tanah airku. Aku masih di sini, masih giat-giatnya menuntut ilmu, dan memperluas koneksi. Aku senang diberi kesempatan untuk melanjutkan studiku di sini. Semua yang baru dan berbeda menularkan energi yang luar biasa kepadaku.

Serombongan mahasiswa berwajah Asia tampak dalam jangkauan pandangku. Sekitar 8 sampai 10 orang, membawa koper-koper besar mereka. Aku segera melompat kecil kegirangan, sambil mengacungkan papan yang kubawa dari tadi, bertuliskan INDONESIA dengan warna merah menyala.

Dua orang dari rombongan itu melihatku, dan dengan sumringah berjalan ke arahku, diikuti teman-temannya.

"Mbak Kinan, ya? Aku Risa," sapa salah satunya, perempuan dengan jilbab peach dan kacamata bulatnya.

Aku menjabat tangannya, "Iya, udah dikasih tau Mas Adnan, kan, kalo hari ini kalian sama aku? Dia hari ini nggak bisa jemput kalian, soalnya masih di kampus," jelasku singkat, mewakili ketua PPI Belanda, yang seangkatan denganku.

"Udah, Mbak. Mas Adnan udah kasih semua detail acaranya," jawab Risa.

Risa segera mengkoordinir teman-temannya dan memastikan semua barang nggak ada yang tertinggal. Kemudian kami sama-sama menuju minibus yang sengaja disewa untuk menjemput mereka. Aku mengobrol ringan dengan mereka, mahasiswa yang energinya masih membara, sepertinya belum ditimpa pedihnya tugas akhir. Aku menikmati semangat dan antusias mereka menginjakkan kaki di Belanda, membawa nama kampusnya masing-masing.

Yang nggak aku sadari, ada rombongan wajah Asia lain saat itu, di tempat yang sama. Yang sepasang mata di antara mereka mengawasiku lekat-lekat dari balik jendela kaca.

--Rian
Badan gue kaku dan pegal. Sepertinya gue salah posisi tidur sejak tadi saking ngantuknya. Gue meregangkan seluruh tubuh, sambil samar-samar mendengar pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat akan landing. Tangan gue meraih ke seberang gang dan menoyor kepala Fajar yang miring-miring dalam tidurnya, "Sampe, Jay."

Fajar berkedip mengumpulkan nyawa dan bergumam nggak jelas.

Sepuluh menit kemudian kami sudah berjalan dengan kaki kami sendiri walaupun mata belum sepenuhnya terbuka. Beberapa kali kami menoleh ke belakang, menunggu coach Hendra.

Ah, iya. Dewa Hendra Setiawan sekarang menjadi pelatih ganda putra Pelatnas, mendampingi coach Aryono, setelah coach Herry memilih untuk pensiun dan menikmati hari tuanya di rumah.

Eh gue belum cerita, ya?

Dua hari lalu gue memenangkan All England pertama gue bersama partner terjahil di sebelah gue ini, Fajar. Lelah bukan main. Kami bermain rubber game dengan skor deuce di ketiga game nya, melawan pasangan Jepang yang sedang meroket minta ampun, Akira Koga dan Taichi Sato. Gue masih ingat jelas bagaimana kami berempat langsung terkapar di lapangan, begitu dropshot Fajar gagal dikembalikan oleh Sato, dan membuat skor menjadi 27-25 untuk kemenangan kami. Ya, kami berempat berbaring telentang, gue dan Fajar teriak puas, senang sekali bisa meraih kemenangan, sementara Koga dan Sato hanya mengatur napas sambil menahan kecewa.

Sayangnya pemain Indonesia yang lain gagal di babak awal, dan bertolak ke Swiss untuk turnamen selanjutnya. Sementara gue, Fajar, dan Koh Hendra diutus untuk pulang ke tanah air, dan kembali berlatih untuk turnamen besar selanjutnya. Gue menangkap sosok Koh Hendra di belakang sana, yang mengacungkan jempolnya, menyuruh gue untuk duluan. Maka gue dan Fajar berjalan terlebih dahulu ke Starbucks, untuk menunggu waktu transit kami sebelum melanjutkan perjalanan.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang