16. Menjelang Pulang

634 61 0
                                    

Hongkong tidak seindah Basel. Entah kenapa, Fajar jadi super manja dan sangat sering menelepon Kinan. Beda zona waktu hanya satu jam, membuatnya sedikit leluasa mengontak Kinan kapanpun dia mau. Seperti Kamis siang ini, ketika Kinan masih menggores-goreskan pulpennya di lembaran rekam medis, di meja pojokan klinik. Pasiennya sudah duduk di dental unit, menunggu sambil bermain game di ponselnya. Sementara ponsel Kinan berdering nyaring, bergetar hebat dari saku jas putihnya.

"Astaga, apalagi, Jar?" sembur Kinan dalam bisikan.

"Lah kenapa nggak suka begitu gue telepon?" suara Fajar terdengar meninggi.

"Aku lagi ada pasien, gila ya, kamu. Tadi kan udah telepon juga."

"Masa nggak boleh ngobrol. Lu kenapa sih, Ki?"

"Aku lagi ada pasieeen!"

Kinan dengan ganas menutup teleponnya dan menggantinya menjadi mode diam. Kemudian dia beralih ke pasiennya dengan senyum super manis untuk menutupi segala kekesalannya, "Ehe, sebentar ya, Mbak, saya laporan dulu ke dosen jaga. Permisi," katanya sambil berlalu ke ruang dosen jaga.

Ternyata ruang dosen masih kosong, entah ke mana penghuninya. Kinan duduk di kursi tunggu, sambil mengeluarkan ponselnya, mengecek log panggilan, yang dipenuhi nama Fajar Alfian. Tadi pagi subuh Fajar meneleponnya, ngobrol biasa dan meminta dukungan karena dia akan bertanding nanti malam. Kemudian jam sepuluh pagi ketika Kinan curi-curi waktu ke kantin untuk membeli teh manis karena dia mulai pusing, Fajar menelepon lagi. Katanya ia bosan menunggu jam tanding, dan sedang istirahat setelah latihan sesi pagi.

Dan barusaja, hampir jam dua siang, Fajar menelepon lagi. Gila, kurang kerjaan banget. Kinan menggerutu sendiri dan ketika itu dosen yang ditunggunya lewat, "Mau laporan, Dek?"

Kinan berdiri dan membungkuk hormat sedikit, "Iya, dokter. Saya mau mengerjakan restorasi resin komposit kavitas kelas dua gigi 26."

"Oke, saya baca rekam medisnya."

Kinan menyerahkan rekam medisnya dan dosennya membacanya sebentar sambil mengangguk-angguk.

"Preparasi dulu, nanti saya cek."

"Baik, Dok. Terimakasih," dan Kinan kembali ke klinik, mulai mengerjakan pasiennya.

Tanpa sadar Kinan berjalan sambil menghentak-hentak karena masih kesal dengan Fajar yang main telepon seenaknya di jam kerja. Padahal kalo jam latihan aku nggak pernah ganggu, dikira aku pengangguran apa. Pikirnya.

Selesai mengerjakan pasien tambal gigi tadi Kinan langsung pulang menerobos rintik hujan Jogja. Rumah seperti biasa sepi. Mbak Tita pastilah pulang di atas jam lima sore. Karena kerja pasien tadi berjalan lancar, mood Kinan sore ini cukup baik. Maka setelah bersih-bersih dan ganti baju Kinan menengok isi kulkas, dan siap memaskan dengan bahan-bahan yang ada. Kinan akan membuat tumis sawi dengan jagung manis dan bakso malam ini.

Kinan bekerja dengan riang sambil bernyanyi mengikuti player musik di ponselnya. Ia baru saja mengiris-iris bakso ketika ponselnya berdering. Sebuah panggilan video. Astaga, si tukang tepok bulu Majalaya ini. Kinan menekan tombol terima dan meletakkan ponselnya sedemikian rupa sehingga ia masih bisa mengiris bakso sambil melihat ke kamera, "Apaan, Fajaaar?"

"Kenapa, sih nggak suka banget gue telepon?" alis Fajar bertaut di bawah rambut kemerahannya yang makin lebat. Ia masih memakai jaket tim berwarna merah.

"Aku lagi masaaak."

"Tumben udah pulang?"

"Iya tadi untung nambal pasien lancar nggak kamu telponin mulu."

"Cie, dokterku..."

Kinan berjengit, apa tadi dia bilang?

"Eh, Ki, nggak ada live streaming nanti."

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang