24. Jakarta Lagi

517 59 3
                                    

Dalam deru halus mesin pesawat, dalam suara-suara obrolan pelan penumpang, dalam guncangan pelan di udara, Kinan tertidur. Lima menit sejak take off Kinan sudah pulas dalam tidurnya. Lelahnya hari ini di kampus, ditambah jadwal penerbangan jam enam sore, langsung mengirimkan sinyal-sinyal mengantuk baginya. Kinan baru terbangun saat terdengar pengumuman bahwa pesawat akan landing sebentar lagi.

Di area kedatangan, Kinan berjalan pelan. Lelah dan lapar. Ia menggendong ranselnya dan menenteng sekardus besar bakpia. Fajar memang tidak bilang mau oleh-oleh apa, tetapi Kinan tahu sekardus besar bakpia ini akan sangat berguna bagi Fajar sekaligus teman-teman asramanya.

Kinan masih berjalan lesu di antara para penumpang yang bergegas ingin pulang ke rumah, ingin beristirahat di hotel, atau bertemu dengan teman ataupun keluarganya yang datang ke bandara untuk menjemputnya. Barulah ia mengangkat kepalanya, mencari-cari sumber suara ketika terdengar, "KINAAAN!!!"

Sekitar lima meter darinya, berdiri Fajar yang melambai-lambai penuh semangat, dan di belakangnya tampak Rian yang sumringah. Fajar tertawa bahagia dan melangkah mendekati Kinan. Tawa favorit Kinan, dan tawa yang menular. Kinan tidak lagi berjalan sambil menunduk. Ia bahkan mempercepat langkahnya.

Empat langkah besar, dan mereka berhadapan. Rian menyusul di belakang Fajar.

"Sumpah gue lama banget nggak liat lu, Kiii!" Fajar langsung menepuk-nepuk kepala Kinan dan mengacak-acak rambutnya.

"Ih, sering liat di video call, kan," gerutu Kinan sambil berusaha menepis tangan Fajar, menyelamatkan rambutnya. Kemudian ia berganti melihat ke arah Rian. Tangan Kinan terjulur menyerahkan sekardus bakpia yang ia bawa, "Halo, Yan! Ini buat kalian."

"Hai, Ki...," Rian menerima bakpia dari Kinan.

Fajar masih menepuk-nepuk kepala Kinan. Dan saat bakpia itu sudah berpindah tangan, Fajar menahan tangan Kinan, dan menariknya, membuat Kinan langsung masuk dalam pelukannya. Kinan terkesiap dan langsung memejamkan mata.

Hanya satu detik dan satu tarikan napas yang Kinan butuhkan untuk menghirup aroma parfum Fajar, merasakan hangat dari kaus dan jaketnya. Kinan masih menutup mata sambil menyerah akan segala memori yang masuk kembali, padahal sudah berusaha keras ia tutupi. Memori tentang perasaannya yang walaupun abstrak, tapi semakin jelas apa maunya. Untung saja saat itu akal sehat masih bisa menguasainya.

"Jar, Jar, ngawur, dihujat netizen aku nanti," Kinan berusaha melepaskan diri.

Fajar tampaknya tidak terlalu peduli, hingga Rian harus menepuk pundaknya, "Jay, masuk lambe ntar, Jay."

Fajar akhirnya melepaskan Kinan. Kinan pura-pura menunduk merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponselnya, "Bentar aku kabarin Mbak Tita dulu," dan ia mundur dua langkah untuk mengirim pesan pada Mbak Tita. Hal yang tidak perlu dilakukan sebenarnya, kecuali ia ingin menutupi wajahnya yang merah dan tampak gugup, dan detak jantungnya yang tidak karuan.

"Lu ngawur banget, Jay," Kinan mendengar Rian berbicara.

"Halah, biar aja," sahut Fajar. "Ki, mau makan apa?" Fajar kemudian bertanya pada Kinan, menghampirinya.

Kinan buru-buru mengatur napasnya dan menjawab, "Anything yang nasinya banyak."

Malam belum terlalu larut, masih jam delapan sekarang. Mobil Fajar meluncur dari Cengkareng ke Cipayung. Perjalanan sekitar satu jam lebih yang Kinan gunakan untuk melanjutkan tidurnya di jok belakang. Fajar memarkirkan mobilnya di sebuah warung makan sederhana, yang menyajikan berbagai macam menu malam.

Mesin mobil dimatikan. Baik Fajar maupun Rian sama-sama menengok ke jok belakang, mendapati Kinan yang masih tertidur pulas.

"Turun, Jom, tanyain ayamnya masih apa enggak," perintah Fajar pelan.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang