39. Cerita Kinan

781 54 2
                                    

--Kinan
Aku memperhatikan Fajar makan dengan lahap, walaupun makanannya sudah sedari tadi dingin. Walaupun dia makan, matanya nggak pernah lepas dari mataku. Tanpa sadar, aku pun selalu tersenyum. Bersama Fajar, yang hanya terbatas meja di hadapanku. Kalau boleh aku minta, aku mau seperti ini terus. Selamanya.

Tapi justru itu, kan, yang harus aku hindari?

Aku nggak akan pernah bisa maju kalau aku memilih untuk selalu bersama Fajar. Dan Fajar pun begitu. Dia nggak akan pernah bisa bebas meraih apa yang dia mau kalau aku selalu mengekornya.

Dan aku terlalu takut dengan semua luapan perasaan juga emosi ketika aku bersama Fajar. Aku bisa sedih, dan dua detik kemudian bahagia. Aku bisa galau, dan tiga detik kemudian yakin dengan pilihanku. Fajar telah membuatku banyak merasa, segala perasaan yang aku nggak akan alami kalo nggak bertemu dia. Dan aku terlalu takut dengan semua itu. Aku takut aku nggak akan bisa lepas darinya. Aku takut kalo pada akhirnya, kebahagiaanku memang sangat bergantung padanya. Aku takut itu akan melemahkanku perlahan, dan menghancurkanku ketika ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aku juga takut kalo itu akan mengganggu Fajar, membuatnya merasa terbebani.

Di antara kami nggak ada janji. Kami nggak mau membuat janji yang nggak tau apakah bisa kami tepati. Tapi kami sama-sama tau bahwa kami selalu punya tempat untuk pulang. Rumah kami sama, di sini.

Aku masih duduk memandang laki-laki di seberangku yang sedang minum. Ia menghabiskan isi gelasnya dan tertawa. Tawa yang sangat aku suka. Lebar, lepas, dan menyentuh mata. Sisi wajahnya berkerut karena tawanya itu. Dia masih tertawa, dan aku masih memandangnya, merekam dan menyimpannya.

"Ih, apa sih, ngeliatinnya gitu banget?" tanya Fajar.

Aku berkedip, setelah sekian lama aku lupa berkedip. Malu merambat ke pipiku. Aku bangkit dan meraih piring juga gelas Fajar, mencucinya. Fajar mengikutiku, bersandar di konter dapur di dekat bak pencuci. Dia menatapku lama, memiringkan kepalanya agar bisa melihatku yang menunduk, menyembunyikan malu sambil berusaha terus mencuci piring.

"Apa sih, Jar?" ujarku gusar.

"Cantik banget kalo malu-malu gitu," jawab Fajar lirih.

Yang membuatku semakin malu, "Gombal," semburku sambil membilas piring dan gelas.

Fajar mengambil piring dan gelas yang sudah bersih dari tanganku, mengeringkannya, dan meletakkannya kembali ke rak piring. Dia kemudian berjalan ke ruang tamu sambil bergumam, "Gombal sama kesayangan nggak apa, dong."

Aku tertawa tanpa suara, menikmati momen yang membahagiakan sekaligus menyakitkan ini. Aku mengikuti Fajar ke ruang tamu. Dia duduk mengecek hapenya. Sejak sebelum makan tadi, dia sudah mengabari Rian bahwa urusan kami di sini sudah selesai. Sekarang dia menunggu Rian kembali entah dari mana perginya.

Aku masih berdiri menatap Fajar hingga ia menyuruhku duduk, "Ngapain sih? Sini, dong," dia menepuk kursi di sebelahnya.

Aku duduk di sebelahnya. Dia menyimpan hapenya di saku jins, dan menatapku sambil tersenyum. Aku mengangkat alis. Senyumnya makin lebar.

"Terus aku boleh ketemu kamu lagi nggak, Kinan?" tanya Fajar lembut.

Aku mengerjap. Alisku bertaut. Aku? Kamu?

"Ih, malah diem. Gimana? Aku boleh ketemu kamu nggak? Boleh ngechat kamu, telepon, video call?" tanya Fajar lagi.

Aku mengerjap lagi, masih nggak percaya. "Nggak gue-lu gue-lu nih?" tanyaku.

Fajar tertawa. Lagi-lagi, tawa lebar dan lepas yang menyentuh mata. Dia sampai menghentakkan kepala ke belakang saking nikmatnya tertawa. Tawanya menular, aku ikut tertawa, menertawakan entah apa yang lucu. Fajar menggelengkan kepalanya, "Sama kesayangan masa gue-lu, sih?"

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang