38. Cerita Fajar

541 61 4
                                    

--Fajar
Sejak Jombang masuk ke rumah Kinan, perasaan gue udah nggak karuan. Lagian Jombang ngapain, sih, bawa-bawa mie instan begitu buat dimasak. Ya katanya mau ngajak Kinan sarapan, sih. Akhirnya gue cuma bisa pasrah. Memberi kesempatan pada sahabat gue (Jombang) untuk berbicara dengan sahabat gue (Kinan).

Gue diam di mobil Jombang. Awalnya gue makan roti sambil main hape. Lama-lama gue ngantuk. Angin semilir dari celah jendela mobil yang gue buka pas kena ke rambut gue. Bikin ngantuk. Gue tidur-tiduran, rasanya sebentar. Tapi mungkin lama juga. Waktu Jombang ngetuk kaca mobil, matahari rasanya semakin terik.

"Lama banget lu," kata gue, masih ngantuk. Dan bete. Dan bosen. Dan nggak sabar.

"Gue udah jujur ke Kinan. Sekarang giliran lu," kata Jombang sambil membuka pintu mobil.

Gue kaget. Sejak kapan hari ini jadi hari pengakuan Jombang? Tapi dia nggak ngomong apa-apa lagi, dan segera balik ke rumah Kinan. Gue ikutin dia. Berjalan perlahan-lahan. Gue takut kesandung atau kepleset. Kan nggak lucu kalo gue lagi mau ngomong serius sama Kinan malah gue jatuh. Jombang masih di depan gue, dia langsung duduk di kursi makan, di seberang Kinan. Gue nggak berani mendekat, tetap berdiri di dekat lemari pajangan yang digunakan sebagai partisi.

Dia, Kinan, duduk di sana. Menoleh ke gue, dan... astaga, dia habis nangis. Matanya sembab, keliatan kaget, tapi rasanya gue bisa melihat dia agak lega dan senang. Kacamatanya dilepas, dia taruh di meja. Dari sini aja gue bisa melihat bulu matanya yang lentik masih basah bekas air mata. Rambutnya digulung asal dan dijepit di belakang kepala, beberapa anak rambutnya terjuntai. Dia pakai baju rumah standar: semacam daster selutut tapi gambar boneka, apatuh namanya? Babydoll? Dan dia pakai legging tanggungnya warna abu-abu yang sudah buluk.

Penampilannya yang cuek dan sederhana itu membuat dia super cantik. Apalagi rasa kangen gue ke dia yang benar-benar besar, menambah level kecantikannya.

Entah berapa detik gue dan Kinan cuma bertatapan. Dan gue cuma bisa nyengir nggak jelas.

"Ehem. Aku tinggal ya, Ki. Jangan ada salah paham lagi di antara kalian," kata Jombang sambil berdiri, mampir sebentar ke dekat Kinan dan menepuk puncak kepalanya, persis seperti yang sering gue lakukan.

Jombang berlalu melewati gue tanpa kata-kata. Gue masih berdiri diam, sampai gue denger suara mobil Jombang menjauh, menghilang. Sementara Kinan pun masih diam. Dia sibuk mengelap kacamatanya, memasangnya, sambil melirik ke arah gue. Akhirnya gue memberanikan diri melangkah dan duduk di seberang Kinan, di tempat Jombang tadi. Begitu gue duduk, Kinan justru berdiri, "Udah makan?" katanya.

Gue menyusul Kinan berdiri. Kinan membuka kulkas, mengeluarkan telur dan kentang frozen, kemudian mencari barang-barang di konter dapur. Dia terlihat terlalu sibuk dengan cara yang nggak wajar. Sementara gue cuma bisa diam dan ngelihatin dia, nggak terpikirkan mau ngomong apa. Pertanyaan dia pun nggak bisa gue jawab.

"Kinan...," panggil gue pelan. Yang suara gue kalah sama suara keran air ketika Kinan mencuci tangan.

"Kinan...," panggil gue lagi. Kali ini suara gue kalah sama suara kompor yang dinyalakan.

Kami masih saling diam. Gue udah grogi parah, dan merasa ingin mundur. Gue masih melihat Kinan bekerja di depan kompor ketika dia menoleh, "Udah duduk aja, aku gorengin telur sama kentang dulu."

Betapa begonya seorang Fajar Alfian yang kehabisan kata-kata dan cuma bisa menurut, duduk dan memainkan jari-jarinya di atas meja!

Hampir sepuluh menit, Kinan menyodorkan sepiring kentang goreng dan telur orak-arik, dan menyodorkan sebotol saus, juga segelas air ke gue. Dia kemudian duduk di seberang gue. "Makan," perintahnya. Datar. Suaranya luar biasa datar dan dingin. Dan matanya mengarah ke seisi ruangan kecuali ke gue. Membuat selera makan gue yang memang sudah hilang, semakin hilang.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang