31. Dua Arah

506 56 7
                                    

"Kinan, tunggu dulu," Fajar meraih tangan Kinan, dan menariknya ke satu sudut stasiun, duduk di deretan kursi yang kosong.

Kinan tergugup, melirik ke sekelilingnya, bersyukur stasiun tidak terlalu ramai pagi ini, "Jar, kasian Aiq kalo nunggu kelamaan," ujar Kinan pelan sambil meletakkan ranselnya di laintai.

Fajar masih belum melepaskan tangan Kinan duduk memutar badannya sehingga bisa menatap Kinan dengan leluasa, "Gue butuh ngomong sama elu."

Kinan mengangguk dan menunduk, menghindar dari tatapan Fajar yang Kinan tahu akan memerangkapnya. "Iya, kenapa?"

Fajar diam, sementara Kinan masih mencari pelarian. Melihat sepatu, lantai, jam tangan, kursi yang lain, orang yang lewat.

"Kinan lihat gue," ujar Fajar tegas, sambil mengeratkan genggamannya di tangan Kinan.

Kinan menghembuskan napas panjang, memejamkan mata, kemudian mendongak, menatap lurus ke mata Fajar.

"Kinan...," Fajar mengucapkan nama Kinan dalam hembusan napasnya. "Kinan, gue nggak tau gimana cara biar lu maafin gue. Kalo lu bilang nggak papa, kalo lu bilang baik-baik aja, gue nggak percaya. Gue nggak bisa percaya dengan kenyataan sepagian ini lu selalu menghindari gue."

Kinan mengerjap. Ketahuan. Kinan pikir ia sebegitu handalnya berpura-pura, mengindar, dan menutupi.

"Gue tau lu bukan pemarah, Ki," lanjut Fajar. "Tapi kalo lu marah sama gue, itu hak lu. Gue emang pantas setelah kemarin ninggalin lu sampe malem. Setelah kemarin..., gue janji sama lu mau bawa lu ke satu tempat. Dan setelah..., setelah kemarin...," Fajar terbata-bata, mengambil napas dan melanjutkan, "Setelah kemarin gue membuat satu keputusan untuk harus ngomongin satu hal sama lu. Gue beneran butuh waktu sama lu, Ki."

Jangan, please jangan. Kinan tidak tahu caranya, tapi Kinan sangat berharap pembicaraan ini tidak berlanjut, atau harapannya membumbung tinggi lagi.

"Dari semua waktu yang kita punya, yang kita habiskan, dengan lu nemenin gue ke manapun gue pergi, gue sebenernya heran kenapa gue merasa masih butuh waktu sama lu. Berdua. Cuma lu dan gue," Fajar masih menjelaskan. "Gue," dia menunjuk dirinya, "merasa bahwa dari semua waktu kita, gue nggak pernah bener-bener memahami lu. Memahami betapa banyak pengorbanan lu buat gue. Semua lu kasih buat gue. Waktu lu, pikiran lu. Bahkan gue selalu nggak tau apa lu capek, apa lu butuh tidur, apa lu butuh waktu buat sendiri. Dan untuk itu, gue minta maaf banget, Ki," Fajar menatap Kinan, menembus ke bagian terdalam.

"Selama ini gue egois. Gue terlalu ngatur lu, gue banyak nyuruh-nyuruh lu. Gue egois, Ki. Itu karena..., karena gue...," Fajar terbata-bata lagi. "Karena gue merasa lu cuma milik gue."

Seketika, Kinan berhenti bernapas.

"Tapi ternyata gue salah," lanjut Fajar.

Kali ini, jantung Kinan berhenti berdetak.

--Kinan
"Itu karena..., karena gue..., karena gue merasa lu cuma milik gue. Tapi ternyata gue salah."

Aku masih mendengarkan setiap kata-katanya walaupun sangat sulit dengan suara ledakan jauh di dalam tubuhku. Semua meledak, dari perut, jantung, hati, paru-paru, tenggorokan. Hanya mata yang bisa aku selamatkan, karena kalau sekali mataku meledak, airnya akan meleleh.

Aku masih mendengarkan setiap kata-katanya dan mencernanya. Di setiap cernaanku akan kata-katanya, harapanku melambung tinggi. Tinggi sekali, lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya.

Tapi satu kalimat terakhir itu menjatuhkannya.

Tapi ternyata gue salah.

Aku mengulang kalimat itu berkali-kali.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang