35. Paham

492 51 2
                                    

--Fajar
"Jar...," kata Kinan pelan.

Dari suaranya, gue tau dia nangis. Dia nangis dan dia masih menahannya.

"Hei, hei, Kinan..., jangan nangis...," kata gue, membayangkan tangan gue bisa membelai kepalanya.

Dia masih diam. Terisak.

Gue sama sekali nggak tau dia nangis kenapa. Apakah dia marah banget sama gue seperti terakhir kali dia meninggalkan gue di stasiun Bandung? Apakah karena hal lain?

Gue melirik ke Jombang. Dia duduk di pinggir kasur dengan mata menyelidik. Tapi mukanya udah pasrah.

Sampe sekarang gue nggak ngerti lagi dengan posisi gue, Jombang, dan Kinan. Di antara gue dan Jombang nggak ada yang berubah. Kecuali kami sama-sama nggak pernah membicarakan Kinan, atau kejadian di Bandung kemaren. Cerita Bandung gue buka dan gue tutup di hari yang sama, di perjalanan gue dan Jombang balik ke Jakarta.

"Gue ngelepasin dia, Jom. Yang penting dia bahagia dan nggak terkekang oleh gue. Yang gue nggak tau, kenapa dia keliatan marah," itu yang gue bilang ke Jombang di pesawat.

Jombang waktu itu cuma geleng-geleng kepala, keliatan frustrasi. "Kok lu goblok sih, Jay? Kalo Kinan akhirnya sama orang lain, nggak pernah ngelihat ke lu lagi, lu rela?" tanya Jombang waktu itu.

"Yaudah, mau gimana lagi. Gue sadar selama ini gue cuma banyak ngatur dia aja. Gue bikin repot dia mulu," jawab gue.

"Yaudah kalo gitu. Kalo emang lu lepasin Kinan, giliran gue maju," deklarasi Jombang waktu itu nyatanya nggak mengagetkan bagi gue.

Gue masih mendengar isakan Kinan. Dia diam di sana, mengatur napasnya. Setelah gue denger isakannya berkurang, gue tanya ke dia, "Mbak Tita lagi dines, ya?"

"Kok kamu tau?" dia kedengeran kaget, sambil masih ada bekas-bekas nangis.

Gue ketawa pelan, "Lu nggak bakal nangis kalo ada Mbak Tita, Ki."

Kinan diam lagi. Baik gue maupun Kinan kayanya sama-sama nggak tau mau ngomong apa. Jeda, dan gue melirik kea rah Jombang lagi yang posisinya masih sama, nggak berubah sedikitpun. Gue berbalik memunggungi dia, "Kinan...," gue panggil namanya.

"Jar...," dia juga manggil gue

"Ya?" tanya gue. Gue mendadak merasakan kelembutan dalam suara gue.

"Ayah sama Ibu baru bisa balik deket lebaran, nggak bisa ambil cuti di depan. Itu artinya puasa ku nggak bareng Ayah Ibu, sepi lagi, Jar. Kenapa sih, Ayah Ibu itu nggak pernah nyempetin, ngebela-belain buat cuti awal, biar lebih lama di rumah?" cerita Kinan.

Dia nangis lagi. Gue mendengar isakannya lagi, dan usaha dia untuk menghindari hidung meler, "Hei..., udah, udah...," kata gue, masih sambil membayangkan mengelus kepala Kinan, membelai rambutnya.

Oh, Kinan pasti sedang sangat kesepian. Kalo ada orang yang paling memahami rasa sepi, itu Kinan orangnya. Sejak kecil dia selalu pindah-pindah rumah dan pindah sekolah. Paling lama bertahan lima tahun di satu kota. Seringnya tiga tahunan. Dia susah dapet temen, susah masuk ke suatu lingkaran ketika dia selalu jadi orang asing, orang baru. Waktu Kinan baru pindah ke Bandung dan jadi tetangga gue, setiap gue mau main sore, Mama selalu minta gue buat nyamperin Kinan. Awalnya gue ogah, tapi setelah Mama cerita kalau Kinan dan keluarganya selalu pindah-pindah, gue tergerak untuk mengajak Kinan main, ketemu teman-teman baru. Sayangnya pas baru masuk SMP dia harus pindah lagi.

Gue bilang sekali lagi, kalo ada orang yang paling memahami rasa sepi, itu Kinan orangnya. Pindah dan menetap di Jogja ternyata nggak membawa banyak perubahan. Kinan tinggal berdua sama Mbak Tita, sementara orang tuanya masih pindah-pindah kota. Dan begitulah, Kinan sangat paham dengan rasa sepi. Meskipun temannya banyak, kegiatannya macam-macam. Dia sangat merindukan kebersamaan keluarganya. Dia selalu tau bagaimana kesepian.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang