10. Bertiga

774 65 1
                                    

Selesai makan Rian mengendarai mobilnya ke arah timur. Fajar lengser menempel di jendela, kekenyangan dan ngantuk. Kinan pun mulai ngantuk tapi berusaha tetap terjaga. Lagu-lagu terus mengalun dari player mobil Rian, kebanyakan lagu bertempo sedang. Di luar tampaknya panas, langit biru cerah, dan matahari membakar aspal.

"Kinan kalau ngantuk tidur aja, di belakang malah bisa selonjoran," kata Rian, dengan mata masih fokus ke jalanan.

Kinan menggeleng pelan, kemudian sadar gelengannya tidak terlihat oleh lawan bicara, "Mau ke mana kita, Yan?"

"Nyunset, mau ya?" tawar Rian.

Kinan melirik jam di dasbor. Jam tiga sore, "Ratu Boko? Nglanggeran?" tanya Kinan menyebutkan beberapa sunset spot terkenal di Jogja.

Rian menggeleng, "Bukan semua."

Kinan mencondongkan badan di antara kursi Rian dan Fajar, "Kebooo bangun!" Kinan menepuk keras lengan Fajar.

Fajar hanya membuka matanya yang berat dan menegakkan badannya, "Ngantuk banget gue, gila."

"Ya mana nggak ngantuk, makan lu banyak banget," komentar Rian.

Fajar menepuk-nepuk perutnya, "Ayo olahraga, Jom. Besok di rumah lu ya?"

"Halah wedus lu, bangun aja susah," cibir Rian.

Fajar tertawa.

Mobil masih melaju di jalanan, bersaing dengan kendaraan lain. Terus menuju ke timur Jogja, entah Rian akan membawanya ke mana. Setelah cukup jauh ke arah timur, Rian mengambil belokan ke kiri di Kawasan Candi Prambanan.

"Sepi banget, Jom," Fajar menancapkan ponselnya pada player mobil Rian, dan sejurus kemudian lagu-lagu dangdut berkumandang memenuhi mobil.

Rian dan Kinan terkekeh.

"Eh, lu harus tau, Kinan. Si Jombang kadang dengerin keroncong juga," Fajar menoleh ke belakang.

"Campur sari, goblok," koreksi Rian.

"Yaa itulah pokoknya," Fajar mengiyakan dan mulai bergoyang.

Mobil melaju di jalanan pedesaan, jauh dari jalan utama. Di kanan terhampar sawah luas, dan di kiri jauh tampak perbukitan. Ini jalur ke Candi Ratu Boko, pikir Kinan. Tapi rupanya bukan ke sanalah tujuan mereka bertiga.

Rian masih mengemudikan mobilnya melalui jalan-jalan yang makin lama makin sempit dan berbatu. Ternyata tujuannya adalah ke Candi Ijo. Sebelum sampai ke Candi Ijo, Rian melambatkan mobilnya, "Itu tebing breksi," Rian menunjuk ke kirinya dengan dagunya. Fajar dan Kinan otomatis mengikuti pandangan ke kiri. Tebing batu tinggi menjulang, tampak gersang di antara pepohonan. Kawasan itu masih sepi, tapi tampaknya sedang diusahakan untuk diubah menjadi suatu kawasan wisata. "Beberapa waktu lagi pasti jadi tempat hits, yakin deh," tambah Rian.

"Lu nggak tau tempat gini, Ki?" tanya Fajar pada Kinan.

Kinan hanya menggeleng.

"Ah, parah punya temen nggak gaul, padahal setiap hari ngendon di Jogja kan, lu?" ejek Fajar.

"Ya kan aku kuliah, Fajaaar," gerutu Kinan.

"Kita lanjut naik, ya. Bukan mau ke sini," Rian melanjutkan perjalanan, mobilnya menanjak di jalan tanah berbatu.

Dan akhirnya sampailah mereka bertiga di kawasan Candi Ijo. Bukan candi yang besar, dan bukan tempat yang luas juga meriah. Candi Ijo berada di ketinggian, dan pemandangan sekitar terbuka lebar ke bawah.

Setelah mampir sholat Ashar, Rian dan Fajar mengurus tiket masuk sementara Kinan memutuskan untuk membeli camilan terlebih dahulu. Sekarang jam setengah lima, dan masih ada cukup waktu sebelum hitung mundur sunset. Kinan memesan cilok dan bakso tusuk, karena pilihan jajanan di sana tidak banyak. Tidak lupa ia membeli tiga botol air minum.

"Nggak usah sok nraktir," Fajar tiba-tiba berdiri di belakangnya dan mengambil alih pembayaran kepada ibu penjaga warung dan tukang cilok.

Kinan hanya mendengus kesal. Setelah semua pesanan siap, ia dan Fajar menyusul Rian yang menunggu di gerbang masuk.

Kompleks Candi Ijo tidak terlalu luas. Candi-candi berdiri di ketinggian, menghadap ke ruang terbuka yang memperlihatkan Jogja kota. Landasan pacu bandara, gedung mall dan hotel, dan semua keriuhan di bawah. Sedangkan di atas sini tenang, tidak bising, dan teduh. Matahari mulai condong dan angin sepoi-sepoi berhembus.

Ah, perasaan ini lagi, pikir Kinan. Sore menjelang matahari terbenam menjadi salah satu momen favorit Kinan sejak kecil. Apalagi kalau bukan karena masa kanak-kanaknya yang menyenangkan bersama Fajar. Kinan duduk di hamparan rumput, memeluk lututnya. Memandang dua laki-laki yang seharian ini menemaninya, membuat sedikit riak di air kehidupannya yang begitu tenang.

Rian mengeluarkan ponselnya dan mencoba mencari sudut yang paling tepat untuk mengambil foto. Sementara Fajar sibuk mengomentari dan mengusulkan banyak hal kepada Rian.

Kinan tidak tahu bagaimana kehidupan Fajar, dan juga Rian, di Pelatnas. Mereka baru ditandemkan 2014 lalu, namun prestasi mereka sudah cukup menjanjikan. Memang jam terbang mereka masih sedikit. Kinan yakin bertahun-tahun ke depan mereka mampu bersaing dengan atlet ganda putra dunia. Melihat Fajar yang sangat akrab dengan Rian, walaupun dengan cara yang tidak lazim, membuat Kinan senang. Tapi juga sekaligus merasa terasingkan.

Kinan dan Fajar memang bersahabat sejak kecil, namun beberapa tahun jeda tanpa ada kabar-kabar membuat semuanya seperti diulang dari awal. Setahun belakangan ini Kinan dan Fajar mulai dekat lagi, walaupun baru sekarang mereka bertatap muka lagi. Kinan senang dan lega ada Fajar datang lagi di kehidupannya. Namun terkadang dia merasa bahwa ia dan Fajar begitu berbeda. Banyak yang masih ia tidak ketahui, dan begitu pula sebaliknya. Walaupun Kinan yakin, ada ikatan kuat yang tak terlihat di antara mereka. Apakah itu yang dinamakan chemistry?

Lamunan Kinan begitu panjang sampai ia tidak menyadari bahwa Rian duduk di sebelahnya, "Jangan bengong," ujar Rian pendek.

Kinan mengerjap dan tertawa.

"Temenmu rusuh banget, ya?" Rian menunjuk Fajar dengan dagunya. Fajar masih sibuk ke sana ke mari membawa ponsel dan mengambil beberapa foto.

"Foto apasih dia? Masih benderang gini juga," kata Kinan.

Rian tertawa, "Nggak tau, deh. Mana pake hape aku." Kemudian dia memanggil Fajar, "Woi, Jay. Balikin hape gue. Fotolah pake hape lu sendiri."

Fajar tertawa sumringah dan menyusul duduk. Kembali Kinan diapit dua atlet nasional ini. Fajar menggeser-geser layer ponsel Rian, menunjukkan beberapa foto yang ia dapatkan, "Bagus, kan?"

"Biasa aja," jawab Kinan dan Rian bersamaan, lalu mereka tertawa.

"Tunggu sini aja, bentar lagi tenggelam itu," Kinan menunjuk matahari yang sekarang sudah membulat besar dan oranye.

Di sanalah mereka duduk, bertiga. Menghadap matahari yang semakin lama semakin rendah. Saling diam, hanya menikmati udara bersih dan suara alam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Tahun depan, makin mantep ya kalian, prestasi naik," ujar Kinan tanpa mengalihkan pandangan.

Fajar dan Rian menoleh bersamaan.

"Iya, Ki," jawab Fajar.

"InsyaAllah," tambah Rian.

"Aku yakin kalian bisa jadi atlet hebat, ranking bagus, medali banyak, hadiah menumpuk. Jangan lupain aku ya, kalo udah terkenal," ujar Kinan lagi.

"Apaan sih, luuur," Fajar menepuk kepala Kinan pelan.

Mereka terdiam lagi, masing-masing menghitung dalam hati sampai matahari benar-benar terbenam. Hitung mundur dalam hati matahari terbenam menjadi salah satu kegiatan favorit Kinan. Dia sering melakukannya di rumahnya, di loteng tempat jemuran. Walaupun mataharinya terbenam di balik bangunan.

Langit menggelap dan lampu-lampu kota bermunculan, tampak kerlap kerlip kecil jauh di bawah. Sementara di atas sana, bintang pun muncul satu demi satu. Langit sedang cerah sehingga berlian bintang di atas tampak jelas.

"Bagus banget, sih. Tumben pinter lu, Jom," bisik Fajar.

"Gue denger, ngga usah malu kalo mau muji gue," komentar Rian.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang