30. Besar Hati

564 57 2
                                    

Kinan membuka matanya yang berat ketika terdengar adzan Subuh berkumandang. Mengerjap beberapa kali, barulah Kinan mampu sadar sepenuhnya akan keberadaannya. Masih di rumah saudara Fajar, di Bandung. Kinan bergelung di dalam selimut, sambil mereview cepat kejadian-kejadian semalam. Puncak perasaannya kepada Fajar, janji temu yang batal, dan bermenit-menitnya bersama Rian sambil mencurahkan segala rasa yang Kinan miliki.

Kinan mengerjap lagi. Amarahnya telah hilang seketika. Akal sehat sepenuhnya menguasainya. Maka ketika ia membuka pintu kamarnya, dan pintu kamar sebelah juga terbuka, Kinan bisa tersenyum menatap sosok yang masih berdiri diam memegang gagang pintu. Senyum yang anehnya, ringan.

"Ki..."

"Jar..."

Panggil Kinan dan Fajar bersamaan. Kemudan sama-sama diam. Kinan mempersilakan Fajar bicara duluan.

"Ki, gue minta maaf. Minta maaf banget..., gue salah, gue udah bikin lu capek nungguin. Hape gue mati, nggak ada powerbank. Temen gue juga asal nyeret aja. Gue tau kalo lu marah. Lu pantes marah ke gue," jelas Fajar panjang lebar.

Kinan menatap mata Fajar yang dipenuhi sesal, "Iya, udahlah nggak apa," katanya sambil berusaha terdengar meyakinkan.

"Ini apaan sih, Jay, kok macet kaya mau keluar tol aja," Rian mendorong Fajar keluar pintu dan tampak canggung melihat Kinan di pintu sebelahnya. "Eh..., Kinan."

"Udah ah, ayok sholat," dan Kinan berlalu menuju kamar mandi.

Pagi itu Kinan akan diantar oleh Teh Susan dan suaminya ke stasiun, sekaligus mengantar Fajar dan Rian ke bandara untuk terbang kembali ke Jakarta. Jam enam pagi semua orang sudah melingkar di meja makan untuk sarapan. Uwa Adang dan istrinya, juga ketiga anaknya, keluarga Fajar, Kinan, dan Rian. Rafli yang semalam tidak menginap di rumah Uwa Adang pun pagi ini muncul, ikut sarapan bersama.

Selesai sarapan, tidak ada waktu untuk duduk bermalas-malasan mengelus perut yang kenyang. Teh Susan dengan cekatannya menyuruh Kinan, Fajar, dan Rian bergegas. Selesai menyiapkan barang, barulah Kinan bisa duduk. Uwa Adang dan Papa Fajar duduk santai di teras depan, menyepi dari keriuhan di dalam rumah.

"Jar, sini dulu, Jar," Papa Fajar memanggil Fajar.

Fajar yang tadinya sedang duduk di kursi ruang tamu bersama Kinan dan Rian, mendengus sedikit. Tampak agak kecewa karena belum memiliki waktu untuk bicara empat mata dengan Kinan, "Kunaon, Pa?"

Kinan masih menatap Fajar yang bergabung ke teras depan.

"Ki...," panggil Rian ragu-ragu. Rian beringsut berpindah kursi, duduk di sebelah Kinan di kursi panjang.

"Hm?" gumam Kinan tidak jelas.

"Ki, are you okay?" Rian menatap Kinan. Ada semburat khawatir di matanya, juga penuh tanya karena Kinan sepagian ini tampak berbeda.

"I guess. Harus gimana lagi, Yan?" tanya Kinan. Itu pertanyaan retoris, sehingga Kinan menertawakannya.

Rian mengernyit heran, "Serius, Ki? Kamu..., beda."

"Beda gimana emang?"

"Nggak tau, sih. Kamu lebih diem aja. Dan kaya nggak di sini."

"Masa sih, Yan?"

"Iya, bener."

"Mungkin...," Kinan menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap lampu gantung di langit-langit ruangan, "Aku lagi mencoba berdamai sama diriku sendiri kali, ya. Biar ke manapun jalannya aku nggak nyesel, nggak kecewa, nggak protes, karena sudah digariskan begitu."

Rian terdiam. Kepalanya dipenuhi decak kagum atas kebesaran hati perempuan yang duduk di sebelahnya ini, "Dia udah minta maaf, kan?" tanya Rian sambil menunjuk ke luar menggunakan dagunya.

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang