22. Asumsi

612 59 2
                                    

Yogyakarta, 2019
Kinan menghela napas, sambil masih menatap langit-langit kamarnya. Semua potongan memori Asian Games berkelebat dalam pikirannya. Kinan masih bisa mengigatnya dengan jelas tanpa kurang sedikitpun. Masih lekat dalam pikirannya bagaimana malam setelah final itu Kinan merasa mengenal sisi lain dari Fajar. Dalam obrolannya di kedai kopi tentang rencana jangka panjang Fajar, dalam alunan cerita yang didominasi kegelisahan Fajar sepanjang Asian Games, dalam rangkaian episode tawa getir atas lelah masing-masing diri.

Yang Kinan tahu, malam itu Fajar berubah.

Yang Kinan tahu, malam itu perasaannya terusik.

Kinan tidak pernah melihat Fajar selain sebagai anak laki-laki jago badminton yang berisik dan usil. Tapi malam itu, segala pandangannya berubah.

Sejak Asian Games, Kinan hanya bertemu Fajar sekali, saat keluarga Kinan memutuskan untuk jalan-jalan pada libur tahun baru, dan mereka mampir ke rumah Fajar. Reuni orang tua mereka, sekaligus menanggalkan rindu Kinan yang meningkat berkali-kali lipat intensitasnya.

Kinan masih ingat, pertemuan singkatnya hari itu. Pagi, keluarga Kinan sampai di Bandung, dijamu sarapan oleh Mama Fajar di rumahnya. Kemudian bercengkerama tiada habisnya, dan siangnya makan bersama di sebuah restoran keluarga, sebelum sorenya Kinan melanjutkan plesiran keluarganya ke Lembang, reuni lainnya dengan kolega orang tua Kinan.

Kinan masih ingat jabat tangan Fajar dan tatapannya ketika keluarga Kinan berpamitan, berharap Kinan benar-benar melihat Fajar keberatan melepasnya. Kinan masih ingat bagaimana ia masuk ke mobil dan tidak bisa melepaskan pandangannya dari mata Fajar, masih berharap ada sesuatu yang menahannya di sana. Kinan masih ingat bagaimana hari itu Fajar banyak tertawa, tapi bukan tawa favoritnya. Kinan masih ingat bagaimana ia berharap Fajar ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya.

Dan Kinan masih ingat ketika ayahnya melajukan mobil, meninggalkan Fajar dan keluarganya melambai di depan rumah, Kinan juga meninggalkan segala asumsi yang diciptakannya sendiri.

Asumsi itu berbahaya.

Kinan memejamkan mata, mengangkat tangannya ke kepala, menutupi matanya.

Kinan masih ingat juga bagaimana tiga bulan setelah Asian Games merupakan waktu yang berat baginya. Bagaimana ia berjuang menekan sejuta ledakan perasaannya, setiap berjumpa dengan Fajar lewat layar ke layar. Bagaimana ia menepis segala keinginan untuk mengakui bahwa ia kalah dari teman kecilnya itu dalam menjaga perasaan. Bagaimana ia menyembunyikan rasa kagumnya yang berubah bentuk sedemikian rupa menjadi abstrak yang tidak bisa ia jelaskan, yang ia tidak bisa mendefinisikan, dan ia tidak tahu menahu soalnya.

Malam itu, Kinan tertidur dengan sekelumit gelisah. Gelisah karena takut perasaan tanpa nama itu akan kembali mengusiknya, hanya dengan mengingatnya.

Hari ini di Hongkong, Fajar dan Rian bertanding menjadi punggawa pertama melawan Singapore. Mereka berhasil mencuri poin pertama untuk Indonesia, walaupun cukup terseok-seok karena harus main rubber set. Kinan mengernyit melihat hasil pertandingan terpampang di layar ponselnya. Mungkin Fajar dan Rian tidak dalam kondisi optimal karena kelelahan.

"Berat gue mukulnya, nggak tau kenapa," kata Fajar ketika malam Kinan ngobrol dengannya lewat telepon.

Kinan menghembuskan napas, "Kamu kecapekan kali, Jar. Besok main?"

"Enggak, besok si Boy sama Frengky."

Kinan tertawa mendengar Fajar mengucapkan Frengky menjadi terdengar Prengky. Kinan tidak pernah terbiasa dengan lidah Sunda temannya ini.

"Apasih, lur? Ngapain ketawa?"

"Nggak apa, hehe. Tidur sana."

"Eh, jadi, ya ke Jakarta?"

Cerita Kinan tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang