10. PERSIAPAN UJIAN

44 7 4
                                    

                     Malam semakin larut dan aku masih dengan buku-buku pelajaranku dimeja belajar, sibuk menghafal dan memahami rumus-rumus matematika, pelajaran yang menjadi kelemahanku selama ini. Karena sebentar lagi ujian, aku ingin membanggakan orang tuaku dengan mendapatkan nilai yang memuaskan nanti, terlebih mengingat kondisi ayahku saat ini. Tiba-tiba suara ketukkan pintu membuyarkan konsentrasiku, aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan pergi untuk membuka pintu.

"Ehh ayah, ada apa yah?" Tanyaku. Setelah mengetahui seseorang dibalik pintu itu adalah ayahku.

"Jangan terlalu diforsir belajarnya, istirahat dulu, kesehatanmu juga penting nak." Aku hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar nasihat ayah.

"Ayo sini ikut ayah sebentar!" Ajak ayah. Aku kemudian membantu mendorong kursi rodanya.

"Ada apa yah ngajak Bulan ke teras?" Tanyaku bingung.

"Lan coba liat bulan itu." Ucap ayah sambil menunjuk ke arah bulan diatas langit.

"Kenapa yah?" Tanyaku sambil mengamati bulan diatas sana.

"Terang bukan?"

"Iya yah, terang dan indah." Jawabku dengan masih menatap bulan diatas sana sambil tersenyum.

"Kamu tau, kenapa ayah memberimu nama Bulan?"

"Nggak tau yah, emang kenapa?"

"Ayah mau kamu seperti bulan yang selalu bersinar untuk menyinari malam yang gelap, dan ayah yakin sinarmu akan membawa kebahagian untuk banyak orang nanti." Ucap ayah sambil menatap kearahku dengan senyuman yang melekat dibibirnya.Mendengar ucapan ayah aku langsung memeluk pahlawan hidupku yang berada diatas kursi roda itu, sungguh aku sangat bangga mempunyai ayah seperti beliau.

                     Setelah puas menikmati indahnya sinar bulan malam itu sembari bercengkrama dengan ayah, aku dan ayah kembali masuk kedalam rumah untuk tidur. Baru saja aku akan membaringkan tubuh ditempat tidurku tiba-tiba jawaban ayah tadi mengingatkanku tentang puisi misterius yang aku dapatkan beberapa hari yang lalu. Entah siapa yang sudah mengirimkannya untukku, puisi yang selalu membuatku besar kepala karena pujiannya. Aku melihat jarum pendek dijam dinding itu, sudah menunjuk ke angka sebelas dan jarum panjangnya di angka duabelas segera aku menarik selimut kemudian memejamkan mata dan melupakan tentang puisi misterius itu.
--------------

                          Pagi-pagi ruang guru sudah dipenuhi oleh siswa yang mengantri untuk mendapatkan kartu nomor ujian, yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Dan aku yang baru saja sampai kelas langsung buru-buru ke ruang guru untuk ikut mengantri, dan lagi-lagi aku melakukan hal ceroboh, kali ini bukan terjatuh karena batu akan tetapi menabrak seseorang.

"Ehh eh maaf maaf aku ga sengaja." Ucapku sedikit panik karena melihat minuman yang dibawa orang itu tumpah. Dan ketika orang itu menengok ternyata dia Bani temannya Andi dan Deva, aku pun tersentak kaget.

"Yahh Lan baru juga aku minum sedikit, udah kamu tumpahin!" Seru Bani dengan nada bicara sedikit kecewa.

"Maaf deh Ban, aku ga sengaja!" Kataku. Yang kemudian ada suara teriakkan muncul "Suruh ganti aja Ban!", bola mataku langsung menelusuri dari mana datangnya suara ngeselin itu, dan tak lama aku melihat disamping ruang guru ada segerombolan laki-laki yang salah satunya ada wajah Andi dan Deva disana. Aku melihat Andi senyum-senyum nggak jelas kearahku.
"Pasti dia yang teriak tadi, huh!! Pikirku dalam hati.

"Emang mau kemana sih Lan buru-buru amat?" Pertanyaan Bani melenyapkan kekesalanku. Dan belum juga aku menjawabnya, si cowok kepedean itu sudah menyambar.

"Ratu telat tuh, hahaha" Teriak Andi , yang semakin membuat mood pagiku kacau.

"Mau ambil kartu ujian!" Aku menjawab pertanyaan Bani dengan tegas lalu meninggalkannya dan lari menuju ruang guru, tanpa memperdulikan Andi.

Diam Membungkus Perasaanku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang