Chapter 1.2 [1/2]

485 111 90
                                    

Kali ini Jepang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin. Arena gelanggang es terbesar di Sapporo begitu penuh dengan penonton.

Sorak-sorai menggaung penuh gelanggang es tepat ketika nama Kirika disebutkan. Sementara orang-orang bersorak penuh semangat, Silvis memandang wanita muda itu tengah meluncur ke bagian tengah gelanggang dalam diam.

Bukanlah hal perdana bagi Silvis untuk menonton Kirika secara langsung berkompetisi Olimpiade Musim Dingin. Namun, tetap saja pria itu selalu mendapat bagian gugup ketika Kirika memasuki gelanggang.

Isi otak Silvis tiba-tiba dikerumuni oleh masa lalu di kala ia berkedip. Nyaris saja ia tenggelam ke dalam sana jika saja para penonton tidak berhenti bersorak dan musik pengiring untuk Kirika tidak bermain. Tak lama setelah merasakan getaran dari ponselnya, Silvis menekan earphone bluetooth yang menyumbat telinga kirinya.

"Bagaimana dengan keadaan di sana, sayang? Aku harap dia baik-baik saja."

Saat itu para penonton bersorak tepat ketika Kirika mendaratkan lompatan kombinasi pertama. Bersamaan, Silvis bertepuk tangan singkat sebelum merespon suara Aleah.

"Dia tampak baik-baik saja," kata Silvis.

Terlihat Kirika tengah berputar sebelum memasuki koreografi pertama dan lompatan yang tersisa. Silvis berkedip mengingat betapa keras kepalanya anak itu memohon padanya agar ia bisa kembali mengikuti kompetisi.

Silvis yang terkekeh getir, tak lama menggeleng. Lagi-lagi ia terdiam untuk menyaksikan Kirika lebih lama, tetapi setelahnya ia menghela napas dengan gusar.

"Dengan kakimu yang terluka parah saat ini ... kau tidak bisa melakukannya. Aku tak menyangka aku mengatakan itu tiga tahun yang lalu. Barangkali aku benar-benar membuatnya sakit hati."

Silvis tersenyum samar. Cukup lama Aleah menunggu respon selanjutnya. Dia paham betul, suaminya sangat menikmati pertunjukan Kirika yang meluncur dengan bilah sepatunya di atas es. Sebab Aleah sendiri juga tengah ikut menonton siaran langsung secara diam-diam di laboratorium.

"Kemudian dia bangkit dan membalaskan dendamnya, habis-habisan meraih medali di musim selanjutnya," tambah Silvis. "Dia memenangkan taruhan yang dia buat sendiri, Aleah."

Aleah tertawa. Silvis mendengarkan suaranya yang menyusut sebab suara tepuk tangan kembali menggaung di gelanggang setelah Kirika mendaratkan lompatan terakhir.

"Mawarnya ... menari dengan indah, ya?" tanya Aleah tak lama.

Bersamaan dengan senyuman yang mengembang lebar, Silvis mendengkus. Dia menengadah memandangi Kirika lewat layar lebar yang tergantung di tengah langit-langit gelanggang.

Di tengah tariannya, atlet muda itu mengembangkan senyum bahagia ....

Lengkap dengan sepasang manik delimanya yang berkaca-kaca.

~*~*~*~*~

Konferensi pers akhirnya diadakan seperti biasa untuk para wartawan yang akan memberikan sejumlah pertanyaan kepada para pemenang. Sesuai dengan dugaan para penonton—termasuk Silvis—Kirika berhasil memenangkan medali emas keduanya pada Olimpiade Musim Dingin.

Hingga pertanyaan terakhir untuk Kirika dilontarkan dari salah seorang wartawan, "Bagaimana dengan fokus Anda ke depan? Ya, menyadari bahwa Anda adalah yang tertua di antara Yohanova dan Turgeneva. Namun, di Olimpiade pertama, Anda yang termuda dan memenangkan medali emas pertama. Apakah Anda memiliki target baru?"

Senyum canggung lengkap dengan pandangan yang jatuh dengan asal tersirat tepat ketika Kirika selesai meneguk air mineralnya. Tangannya bergerak menyalakan mikrofon, tak lama pandangan lurus yang kemudian beredar kepada para wartawan yang tengah menunggu.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang