Kini Kenji kembali ditemani gelap. Kali ini ia telah menenteng kantong plastik yang entah apa isinya. Tak lagi ia pedulikan bau anyir dari darah—entah yang menempel dan membekas di jaket atau dari dalam kantong plastik.
Gedung runtuh, tak berpenghuni merupakan tujuan terakhir baginya. Kenji berhenti persis di hadapan gedung itu seusai ia melangkahi pita kuning yang menyuratkan peringatan dilarang masuk.
Demikian udara dingin menyambut kedatangannya, berikut dengan sebutir salju yang hendak menghinggapi pundaknya. Tak ada keinginan di dalam benaknya, ia menengadah menikmati keindahan mereka yang tak lama datang beramai-ramai.
Manik merah itu berfokus kepada gedung di hadapannya. Teramat banyak jendela pecah, nyaris satu pun di antara mereka benar-benar utuh. Pun, pilar-pilar yang seharusnya berdiri kokoh sebelum pintu menyambut kedatangan setiap orang telah rubuh. Sama sekali tiada satu ruangan yang sudi memaparkan secercah cahaya lampu dari sana.
Puas bersendu dalam kesepian, Kenji kembali menapakkan jejak demi jejak.
Tidak, dia tidak akan menerobos masuk melewati pintu utama. Ada bagian pintu menuju bagian bawah tanah tepat di penutup lubang selokan. Kontan Kenji mendapatkan tangga besi kala ia membuka penutup tersebut. Dia memanjat menuruninya, tak lupa kembali menutup lubang.
Sesampainya di bawah, ia merogoh kantong jaket. Seusai mendapati senter kecil, ia melangkah ke tangga yang mengarahkannya ke lantai utama.
Udara tak ada ubahnya jika dibandingkan dengan yang berembus di luar sana. Kenji mengedarkan pandangan sembari mengarahkan senter kepada objek yang cukup membuatnya tertarik untuk berpaku tatap. Benar saja, ada sebuah tulisan besar hasil semprotan cat merah sukses menarik perhatiannya.
'Matilah, Oohara!'
'Oohara akan jatuh! Oohara akan mati!!'
'Oohara harus menanggung semua hal yang terjadi!'
Tak ingin meneruskan lebih lanjut, Kenji segera berpaling dan melangkah mengabaikan meja resepsionis yang tak berpenghuni.
Langkahnya terkesan sedikit terseret-seret kala ia masuk lebih jauh oleh sebab serpihan kaca dan tembok yang sama sekali tak kasat mata di tengah gelap. Suaranya terpantul, menggema menemani Kenji.
Entah apa yang mengundangnya menghentikan langkah. Denyut dari dalam kepala mendapat kesempatan untuk menginterupsi pergerakan. Tiba-tiba saja ia merasa sulit bernapas. Segera ia menumpu diri pada dinding terdekat. Tak seorang pun mengetahui betapa pucat dirinya kala itu.
Kala menghirup napas dalam-dalam, udara mendadak hangat menerobos masuk ke paru-parunya. Dari pintu utama, cahaya pagi menerobos masuk menyelimuti kulitnya yang kedinginan.
Kontan Kenji menoleh ke sana. Sedikitnya kernyitan kening yang semula menahan sakit berangsur hilang.
Reruntuhan, serpihan kaca, berikut dengan tulisan dari cat semprot merah yang ia dapati di dinding menghilang ... berikut tergantikan dengan suasana kantor yang begitu sibuk dengan belasan pasang langkah para pegawai yang tergesa. Terdapat di antara mereka yang tengah berbincang.
Semuanya diwarnai dengan warna yang ... seharusnya ada.
Kala demikian seorang pria paruh baya bermata empat menoleh padanya. Tangan kirinya tengah sibuk memegang kopi yang tertampung oleh gelas plastik. Kenji tidak ingat pasti siapa orang itu. Namun, dia menoleh dan tersenyum pada Kenji. Sukses membuat Kenji tersentak.
Suaranya sedikit menggema, terdengar bernada rendah. Bersamaan bersemangat. Dia bahkan tanpa ragu menyunggingkan senyum kala itu, menyapa Kenji dengan mimik penuh sukacita, "Terima kasih atas kerja kerasmu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...