Chapter 3.1

81 18 46
                                    

Musim panas memang waktu yang paling Kirika benci. Besar kebenciannya juga berlaku untuk musim dingin. Ironis bagi seorang mantan atlet figure skating. Namun, bagaimana pun keduanya memiliki suhu udara yang tak begitu ia senangi.

Kali ini, entah mengapa berada di tengah taman bermain yang begitu sepi sekali pun, Kirika merasa tenang. Persis di tempat duduknya yang rawan akan khalayak, tiada satu pun ia temukan tanda-tanda orang yang hendak menumpang lewat, atau bahkan menghampirinya.

Hanya saja satu hal yang bisa ia pastikan tanpa ia harus mengedarkan pandangan. Ialah keberadaan seseorang yang begitu familier, tepat di sampingnya.

Sosok yang begitu lama ia rindukan.

Meski telah mendapatkan kenyamanan, tetap saja tak menutup kemungkinan bagi rasa canggung menghampiri keduanya. Baik Kirika dan pria muda di sampingnya masih enggan untuk bertemu tatap, pula tiada seorang pun yang berkeinginan berpindah tempat atau sekadar bergerak ... seperti melemaskan otot-otot tubuh, misalnya.

Sepi terasa kala dengkusan bahkan mampu terdengar. Ya, setidaknya Kirika berhasil melakukan itu untuk menyibak sunyi di sekitar sini.

Sembari manik delimanya bergerak hendak terpaku kepada lembayung yang menyebarkan warna kontras di tempat ini, berakhir Kirika bersuara setelah sekian lama membuka mulut.

"Jadi ini bukan akhirat, ya?" Ucapannya sukses mengundang pria muda yang menemaninya menoleh. "Kedatanganmu sedikit menakutkanku, Tuan Kurihara."

Tawa kecil meledak dari lawan bicaranya. Jelas tiada tipuan dari nada suaranya yang mengalun lembut. Pun, tersirat jelas perasaan yang sejak lama ia simpan dalam kumpulan binar di irisnya yang sewarna laut dalam.

"Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkanmu untuk memanggil nama depanku saja." Amat enteng bagi Akira mengalihkan pembicaraan. Namun, secepatnya ia mengembalikan dirinya kepada topik yang dibawa Kirika, "Tapi ... ya, ini bukan akhirat."

Lantas netra biru gelap tersebut mencerminkan sosok Kirika yang tampak memesona tepat angin membelai rambutnya. "Setidaknya kau masih sanggup bangkit, meski sudah tersungkur setelah melewati jalan yang luar biasa licin."

Amanat Tuan Abramov .... Kirika terkekeh.

Indera pendengaran Akira justru menangkap kekehan tersebut menyiratkan nada pilu. Dipandanginya Kirika menyunggingkan senyum tipis. Konon iris delimanya menyorot kecewa, lantas pemuda tersebut mendengkus panjang.

Lucu memang menyaksikan orang hidup yang mengharapkan kematian, selagi ia menginginkan hidup lebih lama untuk mencetak kenangan lebih banyak.

Akira tidak kuasa untuk tertawa di atas pernyataan itu. Tetap saja tak adil jika ia harus menaruh perasaan iri terhadap Kirika yang masih bernyawa. Sebab ia sendiri tahu, Kirika tidak lagi hidup dengan segala hal yang menyenangkan hatinya. Jangankan membuat kenangan manis, bahkan ketenangan hidup saja sangat sulit ia raih setelah ia terpaksa menggantung sepatu seluncurnya.

Terlalu banyak beban yang mesti ia pikul. Tanpa sadar pikiran Akira menggerakkan tangannya untuk merangkul Kirika, pun mendorongnya berkeinginan bergeser mendekatkan diri.

Sejurus kemudian dia melantunkan sepatah kata, "Bertahanlah sedikit dan akhiri segala yang terjadi jika sudah kau rasa cukup."

Sekadarnya Kirika tertegun atas tindakan Akira.

Kehangatan yang ia terima terasa begitu nyata. Akan sangat menyenangkan bila ia diizinkan menetap sedikit lebih lama. Hanya saja, dunia mimpi yang ia pijaki saat ini bahkan enggan membiarkannya terus-terusan di sini.

Perlahan pemandangan di depan mata memudar seiring Kirika mulai memberanikan diri bersandar di bahu Akira. Mereka melenyap mengikuti irama helaan napas panjang nan dalam. Demikian ia memutuskan memejamkan mata, mengharapkan kepalanya dapat mengingat segala detail yang sempat terlukis di sekitarnya.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang