Kirika benar-benar berperan sebagai Ayame dengan sempurna. Dia menyamar sementara waktu untuk menyelinap, lantas berhasil masuk ke persembunyian Oohara yang sebenarnya. Bedanya, ia melakukan semua ini dengan sengaja.
Rencana dadakan itu disambut Leona dengan uring-uringan. Memang, mereka bisa membantu Kirika, tetapi mereka harus menunggu hari berganti malam.
Pun, Vanessa tak henti-hentinya menyebut Kirika sebagai 'bedebah' dan menggerutu kata-kata seperti 'keparat', 'bajingan', dan 'sialan'.
Agaknya ... teramat banyak kata-kata baru yang ia pelajari ketika keluar dari laboratorium.
"Tapi kita menemukan lokasi alat pelacakan sebelum akhirnya benar-benar utuh menghilang. Dia pasti masih berada di sana," celetuk Emily. Maniknya tiada henti menyaksikan si kapten yang belum puas mondar-mandir seraya mengusap wajah. "Agaknya tempat lensa kontaknya ditemukan dan segera dihancurkan saat itu juga."
"Karena itulah! Seharusnya jika memang rencana harus dijalankan lebih dari memastikan bahwa Akira berada di sana, Vanessa harus seutuhnya transparan. Dan sekarang kita tidak tahu apa yang akan dilakukan mereka terhadap bocah nekat nan tolol itu!"
Beruntung sekali Emily lebih cepat menutup telinga Vanessa sebelum kata 'tolol' keluar dari mulut Leona. Namun, entah mengapa ia merasa perbuatannya percuma setelah mendapati netra senada ceri tersebut telah tertuju duluan kepada Leona.
"Madam bilang ia tidak ingin berargumen dengan Anda, Kapten Phoenix. Sebab betapa pun dia mencoba, Anda pasti akan menolaknya mentah-mentah."
Tentu saja. Sebab rencananya terlalu riskan. Tanpa menumpahkan kata-kata lagi, sekadarnya manik kebiruan Leona menyiratkan isi hatinya. Yah, semoga Vanessa atau Emily menangkap maksudnya.
"Tenanglah. Kita akan bergerak malam ini dan Madam akan baik-baik saja."
"Semoga saja begitu. Lagi pula, kita tidak punya pilihan lain." Kembalilah netra kebiruan kepada mata ceri bulat itu. "Kuharap kau tidak membawa apa pun yang mudah diretas atau dilacak android kesayangan Madam-mu."
Segera Vanessa menggeleng. Ya, dia tak perlu bersusah-susah untuk melakukan itu sebab tangan Emily sudah berpindah ke bahunya. "Semuanya terkendali. Termasuk rencana baru yang segera kuberitahukan padamu."
~*~*~*~*~
Nyeri di tengkuknya masih terasa. Justru itu hal pertama yang membuatnya sedikit meringis kala terbangun. Beberapa bagian seperti pergelangan tangan dan kaki hingga lengan atas menyusul melangsungkan denyut, dibarengi keram yang mau tak mau ia keluhkan dengan erangan pelan.
Agaknya mereka kurang ramah dengan tawanan mereka sendiri. Sebab setiap ikatan di bagian-bagian itu terlalu kencang hingga Kirika berpikir anggota geraknya hampir mati rasa. Hendaknya ia menggerakkan kepala, ia baru menyadari lehernya ikut terikat menempel kursi.
Spontan segelas air tumpah membasahi kepalanya. Dingin, tetapi cukuplah kejutan dari bongkahan-bongkahan es kecil tersebut segera membuat Kirika terjaga.
"Seharusnya kau menjawab pertanyaannya dengan benar." Lantas terdengar suara bisikan wanita yang begitu familier. "Sebab katanya ... kau akan berakhir sama sepertiku. Meskipun aku tidak mengerti apa maksudnya."
Begitu juga Kirika. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya atau apa yang sebelumnya terjadi pada Eleonor. Tapi tampaknya tak perlu menerka-nerka. Sebab apa pun itu, pasti tak jauh-jauh dari penyiksaan, bukan?
"Kau mengenalku?"
"Tentu. Mantan atlet peseluncur indah tersohor di seluruh dunia, CEO Alford Corp. wanita pertama, musuh bebuyutan tuanku yang baru memiliki lengan prostetik baru, lalu ... entahlah, tetapi kupikir mengingat-ngingat hal itu pun tidak penting. Habis, sebentar lagi kau akan mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...