Kantor kepolisian gencar. Riuh terdengar ketika mereka menerima panggilan darurat. Muasalnya dari hotel baru yang tak begitu jauh jaraknya.
Sementara Leona yang menerima laporan bersedekap. Kepala yang kembali tertekan kini mendorong dirinya untuk mendengkus penuh keluh. Dia segera meninggalkan kantor, diekori dengan beberapa rekannya yang ia tunjuk dalam penyelamatan darurat.
Di kala menginjakkan kaki di luar, udara dingin menyambut bersama dengan papasan khalayak yang tiada henti. Serupa dengan mereka, Leona sama sekali tak acuh terhadap sekitar. Justru maniknya segera tertuju pada salah satu gedung tinggi.
Manik biru itu mengerjap kala ia mendapati gedung yang tengah ia jadikan fokus mengalami mati listrik. Pertanda itu datang dari lampu-lampu kamar yang redup serentak. Maka dia menelengkan kepala, memberi sinyal kepada tiap anggotanya untuk segera masuk ke mobil yang tengah bersiap.
Tampaknya Tuan Silvis mengirimkan panggilan darurat dengan kecerdasan buatan, batin Leona sembari berjalan menuju salah satu mobil. Beruntung dia bergerak di waktu yang tepat. Mereka sudah memutuskan sinyal komunikasi di dalam gedung.
Barulah mobil melaju. Ada dua lainnya yang tersisa segera mengekor. Sirine mulai mereka nyalakan, pertanda menitah semua orang harus menyingkir dari jalan.
Alis Leona bertaut. Dia berpaling ke kaca di sampingnya, mengetuk-ngetuk pelipisnya tak tenang.
Kuharap Ayah sampai tepat pada waktunya.
~*~*~*~*~
Beberapa waktu sebelumnya, mobil mendarat persis di depan pintu masuk menuju hotel. Lantas Leon segera melangkah keluar, melewati karpet merah yang melintang menyambut kedatangannya. Seorang pelayan yang seharusnya membukakan pintu mobil agak terheran. Hendaknya ia mengambil alih mobil Leon, tetapi pula ia segera berkata kala melintas, "Aku tak akan lama. Biarkan mobilku tetap berada di sana."
Sejenak dia memandang para penjaga keamanan yang berdiri di kanan dan kiri pintu masuk yang terbuka lebar, tetapi dia tetap mempercepat laju langkahnya. Tepat Leon semakin dekat dengan pintu, kedua penjaga dengan sigap mencegat.
Segera Leon mengeluarkan lencana pinjaman dari Leona sembari memandangi kedua penjaga keamanan bergantian, tampak yakin mereka setidaknya melirik lencana tersebut.
"Kami dari pihak kepolisian menerima panggilan darurat." Sebentar Leon menjeda, memandang lekat-lekat dua pasang manik yang saling lirik kala ia memulai. "Kami mendapat laporan korban berasal dari dalam ballroom."
Salah satu di antara mereka tak lama berceletuk. "Barangkali Anda mendapat rekaman palsu?"
Leon menurunkan lencananya. "Mengapa Anda begitu yakin bahwa itu hanyalah rekaman palsu?"
"Ballroom sedang mengadakan acara pesta selebrasi dalam rangka memperingati ulang tahun Howard Corporation dan pembukaan hotel ini. Kecil kemungkinan adanya terjadi suatu kejahatan, sebab semua orang tengah bergembira ria di dalam pesta."
"Benar, Tuan. Beberapa pihak keamanan juga berjaga di dalam sana. Kami selalu memastikan keamanan demi kenyamanan para tamu. Tidak mungkin—"
Kalimat mereka kemudian terpotong di kala listrik memadamkan seluruh lampu bersamaan. Mereka menelan ludah selagi memandang dada Leon yang mengembang. Manik Leon menerawang kepada resepsionis yang telah kosong. Hanya sebentar, sebelum kembali kepada dua penjaga keamanan yang bergidik di depannya.
Sementara dari dalam mobil, pelayan yang tengah menunggu terlonjak di tempat kala mendapati tiga orang keluar dan segera berlari sambil membopong senjata api. Salah satunya segera menodongkan moncong senjatanya ke arah pelayan yang spontan mengangkat tangan karena ketakutan, yang tersisa segera memenuhi kanan-kiri Leon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...