Peperangan terus berlangsung hingga menjelang fajar. Itu juga belum tentu terhitung usai. Barangkali jika diminta untuk datang sebagai bala bantuan pun, toh kejadian malam ini akan terulang.
Pasalnya, memang Leona tetap melempar pasukan-pasukan cadangan guna menyaring habis tikus-tikus di dalam selimut itu. Risikonya memang besar, mereka harus terus melawan jumlah yang nyaris serupa sebagaimana peperangan di malam hari, tetapi agaknya mereka tak memiliki pilihan lain. Ya, sebab jelas para pengkhianat tidak tinggal diam di sana. Pastilah tak menutup kemungkinan mereka mencari jalan untuk memorak-poranda Hokkaido dan Kumamoto.
Kegiatan berpikir berlebihan ini teramat menyakitkan lagi melelahkan. Jatah istirahat begitu singkat, tetapi tak sedikit pun Leona berminat memanfaatkan waktunya.
Kala matahari bersinar, sendu menyiram kota dengan secercah kehangatan. Usaha sang mentari tak juga mampu mengusir dingin, Leona mendengkus pun menciptakan uap yang kabur lebih cepat. Yah, apa pula yang mesti diharapkan jika pendar matahari hanya memperburuk suasana hati sekarang?
Betapa tidak. Kini mereka mampu melihat kehancuran distrik lebih jelas ketimbang kala malam. Sisa-sisa asap dari sejumlah ledakan masih membumbung sebisanya, jalanan mulai tampak rusak berhias mayat-mayat berserak.
"Semoga kalian diterima di sisi-Nya," bisik Leona refleks meletakkan tangan di atas jantung.
Sudah sepatutnya ia berterima kasih kepada mereka yang telah berkontribusi melindungi pusat. Sulit menjadi saksi di tengah riuh peperangan, tetapi sepintas ingatan dari sekilas penglihatannya dalam gelap murni terngiang di kepalanya.
Misalnya salah seorang prajurit yang enggan mundur meski salah satu matanya pecah akibat peluru yang akhirnya berhasil menerobos pelindung kepala. Ya, Leona menyaksikannya terus menyerang dan bertahan.
Tahu-tahu di pagi ini mereka kembali dipertemukan dengan dirinya yang telah tinggal nyawa. Napas Leona tertahan memandangi prajurit di atas tandu yang tewas menerima luka cakaran besar dari dada, menjalar hingga perut.
"Ratu mungkin memang tidak akan marah soal ini," gumamnya tepat sebelum ia mengibas tangan mengisyaratkan para penggotong jasad tersebut segera enyah dari hadapannya. Lantas ia berbalik dan mendongak kepada gedung perusahaan yang terdapat kerusakan minor.
Ya, dia mengeluhkan para pengkhianat yang konon nekat menyerang gedung dari kejauhan. Beruntung sekali orang-orang di dalam sana sudah lebih dulu diungsikan sehingga mereka bisa melanjutkan tugas pemantauan.
Entah situasi ini juga menguntungkan, tetapi sinyal lokal yang hanya diperuntukkan para prajurit memudahkan Leona menyembunyikan situasi dari Kirika.
Yah, setidaknya untuk saat ini.
Sembari menekan tombol pada pelindung kepala yang begitu cepat menyusut berubah wujud menjadi kacamata pelindung, Leona melangkah memasuki gedung temaram. Dengan begini ia mampu menyapu pemandangan lobi yang porak-poranda. Pecahan kaca berserak di lantai bersama satu dua pot keramik besar tumbang memperparah suasana.
Akan tetapi kini bukan waktunya menjadikan masalah kecil sebagai pemicu stres utama. Cepatlah ia beralih menuju lift terdekat, lantas turun satu lantai di mana ruang pemantauan berada.
Sesampainya ia mendapatkan sosok Aoi yang berfokus kepada monitor, ia berceletuk, "Mendapatkan kabar dari Yokohama?"
Ya, seharusnya Kirika tiba kurang dari satu jam setelah keberangkatannya. Sayang, jika diterka-terka kabar sang Madam berdasarkan muramnya ekspresi Aoi yang ia tangkap, agaknya mereka tidak mendapatkan kabar baik.
"Helikopter yang ditumpangi Madam dilaporkan menghilang di jalur udara Kawasaki. Kemungkinan terserang dan terjatuh, sebab riuh dan serangan sempat terdengar dari rekaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...