"Kupikir Eleonor benar-benar berbaik hati membiarkan mereka menikmati waktu bersama."
Persis seorang pemuda tengah bersantai di sebuah kafe itu akhirnya berujar. Dia hanya sendirian, bersama secangkir teh yang kemudian ia angkat tinggi-tinggi sejajar kepada pemandangan yang tengah ia terawangi.
Kala tersenyum, manik yang bersembunyi di balik lensa kontak hitam itu mendelik. "Kupikir akhirnya akan menyenangkan. Terima kasih atas pertunjukannya yang luar biasa, sayangku."
Begitu ia menyesap teh, orang-orang berbondong-bondong keluar dari kafe, tertarik dengan kericuhan yang terjadi di luar sana. Tapi tidak dengan dirinya. Dia lebih memilih keluar dari belakang tepat setelah meletakkan uang di atas meja, lantas menyenandungkan sebuah lagu klasik yang berputar di dalam kepalanya.
~*~*~*~*~
Sengatan di dalam kepala Akira belum juga berhenti. Dia benar-benar buta. Berusaha mengakses kameranya sama sekali tak membuahkan hasil.
"Aki ... ra ...."
Walaupun samar, ia mampu mendengar suara Kirika. Terdengar seperti nyaris kehabisan napas.
... Aku mencekik Madam?
Dia bisa mendeteksi kedua tangan berjemari lentik itu mencengkeram tangan kanan yang tengah mengangkat lehernya tinggi-tinggi. Terus sang Madam memberontak selagi suara riuh mulai mengganggu pendengarannya.
"Madam ...." Akira sedikit tersentak mengetahui ia masih bisa bersuara. "Saya tidak bisa mengendalikan diri."
"Ah ... tentu saja. Aku mengambil alih kendalimu."
Itu bukan suara Madam. "Profesor Radiovalenka ...."
Kirika tersentak, tetapi sedikit pun ia tidak mengendurkan cengkeramnya pada tangan Akira.
Di dalam dirinya, Akira melawan. Meski sulit mengakses kamera, setidaknya ia masih bisa beralih mengembalikan fungsi anggota tubuhnya. Dalam waktu singkat, ia berhasil mengambil alih kembali kendali tangannya. Lantas melemparkan Kirika dengan asal.
"Madam, lari!" Dia kemudian memekik tepat sebelum sengatan di kepalanya kembali menyakiti dirinya.
Sementara Kirika yang terduduk masih terpaku kepada Akira yang mengeluarkan kedua bilah pedangnya. Sontak ia mengedarkan pandangan ke sumber pekikan kerumunan yang tak begitu jauh dari mereka.
"Keras kepala sekali ... sepertinya aku tidak memiliki pilihan, ya, Akira?" Eleonor kembali bersuara kala Akira menggerakkan bilah pedangnya secara paksa ke leher. "Aktifkan mode manual."
Seketika Akira menegang, berdiri membatu di tempat.
"Akses kamera diizinkan, aktifkan mode bertarung penuh; emosi netral." Saat itu Akira mengedip. Lensa sebiru langit utuh tergantikan dengan warna darah. Pastilah Eleonor akan tersenyum puas jika melihatnya demikian nun jauh di sana.
Sejenak, suara si profesor yang terus terngiang di kepalanya yang kosong menjeda. Dia masih berdiam, tak acuh meski lensanya menangkap Kirika yang sedang memandang nanar.
Pada akhirnya, suara Eleonor memberikannya sebuah ultimatum.
"Hancurkan Kirika Alford."
Kepala Akira menoleh kaku kepada target.
"Dimengerti. Mengunci target : Kirika Alford."
Begitu roketnya muncul mengoyak kemejanya, ia melesat sembari menghunus bilah pedangnya yang satu. Pekikan orang-orang terdengar kala ia sampai dan mengarahkan bilah pedang ke jantung Kirika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Acción18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...