Untuk kesekian kali dia harus terluka dan bahkan berhadapan dengan ujung maut, pula sekian kali ia selamat dari sabetan sabit malaikat kematian itu setiap musimnya. Semuanya terjadi secara ajaib. Hanya kebetulan atau memang kehendak takdir?
Masuk akal jika menghubungkan segalanya ke opsi kedua. Sebab ia bahkan paham bahwa ia harus mengakhiri apa yang sudah dimulai sebelum ajal menjemputnya; menstabilkan perusahaan keluarga, lalu meredakan dendam seseorang.
Sekadarnya Kirika mendengkus tepat menyadari ia harus kembali terbangun memikirkan semua itu. Lagi-lagi ia harus menuntaskan sejumlah pekerjaan di atas ranjang. Namun, setidaknya kamar sendiri tidak buruk-buruk amat jika dibandingkan dengan kamar rumah sakit, bukan?
Ketiadaan tangan prostetik sungguh menyusahkannya. Pastilah Silvis meminta agar dokter melepaskan tangan itu kala operasi. Yah, lagi pula tangan prostetik tersebut terlanjur mengalami malfungsi. Jadi sementara ia harus menunggu kurang lebih seminggu untuk tangan baru dari Aoi.
Pintu terbuka, mempersilakan Silvis masuk tanpa diminta. Maniknya segera bertemu kepada Kirika yang belum juga bangkit dari posisi telentang. Dia paham, memang sulit untuk bergerak ketika mendapati banyak luka.
"Menikmati hukumanmu?"
Bibir Kirika mengkerut mendengarnya.
Yah, selama tahap penyembuhan sekarang ini, kini tidak sekadar menempatkannya di kamar, Silvis juga mengurungnya di sini. Gunanya? Tentu saja agar Kirika tak lagi melakukan hal yang membahayakan nyawanya.
"Begitulah." Akhirnya Kirika membalas sarkastis. "Kuharap kau membawa kabar bagus."
"Aku hanya membawa orang-orang bagus."
Sekarang keningnya yang berkerut. "Kau membawa dokter lagi?"
Namun, sebelum akhirnya Silvis membuka mulut, sebuah suara lantang berseru menembus pintu, "BIARKAN AKU MASUK, PIMPINAN BAJINGAN!"
Setidaknya, untuk sekian lama suara itu sukses mengembangkan senyum lebar di wajah Kirika.
Segeralah ia bangkit, mengangguk kepada Silvis sebagai isyarat mempersilakan tamunya masuk.
Yah, tak perlu terkejut jika yang muncul ialah Leona, tetapi Kirika harus terkesan kala tahu dua perwakilan Cyclone Team ikut serta menjenguknya. Lagi, meski asyik memaki atasannya ....
Leona sama sekali tidak berkeinginan menjatuhkan atau membanting keranjang buah di tangannya.
~*~*~*~*~
"Kau hanyalah CEO sebuah perusahaan. Tidak bisakah kau urus saja perusahaanmu tanpa harus turun tangan ke sesuatu yang tak mampu kau lakukan?"
Pun, sudah berwaktu-waktu berlalu, Leona masih saja menceramahinya.
"Kau selalu terluka, syukur-syukur kami masih sempat menyelamatkanmu. Bagaimana kalau kau mati sia-sia di ruang bawah tanah itu?"
"Tapi sekarang aku masih di sini, Komandan Phoenix. Lagi, bukankah ini sudah menjadi risiko bagiku sebagai CEO yang dijadikan target oleh bocah pendendam itu?" Kirika segera menukasi sembari mengunyah apel. Rasa manis dan segar dari apel pula membuatnya sempat membeku dan sukses menemukan pengalihan pembicaraan. "Komandan Phoenix, apel yang kau bawa enak sekali. Kalau tidak keberatan, mungkin kau bisa mengupasnya untukku. Pisaunya ada di dapur."
Leona mendelik tidak percaya. Dia benar-benar mengusir Leona secara halus! Namun, meski kesekiannya dia memaki, toh pada akhirnya pun dia menurut dan turun ke bawah bersama apel-apelnya.
Tinggallah Aoi dan Adam yang berpuas diri menertawakan Leona yang memencak-mencak turun menuju dapur. Konon Adam harus berhenti tertawa dengan wajah merah tepat manik delima di hadapannya memerhatikan iris karamel di balik kacamatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...