Kala itu langit begitu kelabu, seolah akan membawakan badai salju yang hebat. Sementara sepanjang jalan Gaienmae begitu sepi. Orang-orang pasti lebih memilih untuk berdiam diri di rumah sebab cuacanya sangat dingin hari ini.
Sementara kediaman Silvis Alford sama sekali tak diizinkan untuk tenang. Para pers mendesak untuk masuk, sementara tiga pengawal yang menjadi benteng di depan gerbang terlalu keras kepala. Tidak ada yang diperbolehkan untuk menyorot kediaman itu. Pada akhirnya mereka menyerah dan memutuskan untuk pulang sehingga para pengawal bisa beristirahat sekarang.
Tepat di ruang utama, Aleah menengadah memandangi salju yang mulai berdatangan untuk menghiasi pekarangan rumah. Dia menurunkan pandangan dan mendapati terusan hitam yang ia kenakan hari ini.
Pengatur suhu ruangan menyala otomatis, mengantarkan udara hangat. Meski begitu, hati Aleah tetap terasa tak nyaman.
Akhirnya ia mendengarkan suara gerbang yang terbuka. Setelahnya, ia segera berhambur ke luar untuk menyambut mobil masuk. Tanpa berkeinginan untuk memarkirkan mobil ke garasi, Silvis segera keluar sesampai ia berada di depan halaman.
Kecupan singkat ia berikan pada kening Aleah. Terasa singkat, agaknya memang tak berhasil membuat hati Aleah tenang meski hanya sebentar. Kemudian sepasang manik biru laut itu sengaja menabrak manik keemasan yang menyiratkan tanda tanya.
"Jenazah Hardy dan Aronia akan segera sampai besok pagi," kata Silvis kemudian. "Aku juga segera meminta pastur untuk mengurusnya di gereja besok dan melangsungkan pemakamannya."
Aleah menyibukkan diri dengan melepas kancing mantel Silvis dan segera melepasnya. Dia tidak berkata apa-apa dan memutuskan untuk masuk lebih dulu. Pria berambut perak itu segera bergegas masuk mengekori Aleah.
"Di mana dia?" tanya Silvis kemudian.
Pertanyaan itu sukses membuat Aleah menghela napas. Sambil mengangkat bahu, ia menggelengkan kepala beberapa kali.
Hal itu membuat Silvis mau tak mau beranjak dari tempat dan mengendap-endap menuju ruang tengah. Silvis mengernyit ketika tersadar kacamatanya yang belum ia lepas sedari tadi, pandangannya kabur karena kacamata yang mulai berembun. Pria itu melepas kacamata dan mendapati seorang gadis yang duduk menghadap altar yang sudah dipenuhi dengan dua bingkai foto yang berhias foto sepasang kekasih.
Meski terlihat gerakan pundaknya yang menandakan bahwa ia masih bernapas di sana, tetap saja Silvis merasa resah. Kirika tampak sengaja mengabaikan semuanya, termasuk Silvis maupun Aleah. Dia mengabaikan betapa indah salju menghiasi pekarangan. Dia juga tak ingin mengubris sedikit pun rasa sakit yang masih terasa di kedua kakinya.
Dia masih enggan memalingkan pandangan dari dua foto di hadapannya. Manik delima itu memandang kosong. Tampaknya dia sendiri juga sudah lelah menangis. Sepasang kantung mata yang sembab itu merupakan bukti terkuat. Ditambah lagi kedua kantung mata itu menghitam. Belum lagi wajah yang biasa berseri-seri itu kini terlihat pucat sebab ia kurang beristirahat.
Silvis mengurungkan niat untuk memanggil namanya. Namun barangkali aura suram yang dikeluarkan Kirika benar-benar mengalahkan niat itu. Jadi dia memutuskan untuk berbalik, lantas mendapati Aleah yang mengernyit sendu.
"Aku tidak akan memaksakannya," ujar Silvis. "Dia juga butuh waktu."
Kehilangan kedua orang tua dan sahabat terdekatnya dalam sehari, siapa yang sanggup?
Aleah tersenyum getir. Pada akhirnya ia mengangguk. Manik keemasan itu nyaris saja menjatuhkan air mata. Ketika itu terjadi, Aleah segera menyambar Silvis dengan pelukan. Pelukan itu kian mengerat dan sesenggukan mulai pecah di saat Silvis memeluknya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Aksi18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...