Sepasang manik delima itu menjauhkan pandangan kepada suasana pagi dari dalam kamar di sebuah hotel di Oakland, California, Amerika Serikat. Kamarnya menghadap kepada kolam renang hotel, sehingga Kirika tak mendapati banyak orang yang berlalu lalang selain para pelayan di sana. Kemudian ia menerawang jauh menuju kota.
Ketukan pintu kamar mengundangnya mengerling. Segera ia memerintahkan pelayan masuk untuk menyajikan sarapan untuknya di meja. Seusai pelayan pergi, Kirika menghampiri meja untuk memeriksa makanannya.
Hal yang pertama wanita itu lakukan adalah menuangkan teh ke cangkir, kemudian menghirup uap yang mengepul dari sana. Ketika hendak meneguk beberapa, ia mendapati ponselnya yang bergetar di atas nakas. Lantas ia mengibaskan tangan untuk mengangkat panggilan serta mengaktifkan speaker yang lebih keras.
"Bagaimana?"
"Profesor Radiovalenka sudah mendapatkan alamatnya. Kami akan segera berkunjung ke sana setelah makan siang."
"Baguslah. Kuharap hasilnya tidak mengecewakan," tanggap Kirika.
Kirika meletakkan cangkir teh yang sudah habis setengah isinya. Sementara ia baru menghampiri ponselnya setelah panggilan mati. Dia mendapatkan sebuah pesan. Seulas senyum samar terpatri seusai manik selesai membaca.
"Selagi aku di sini, sepertinya tidak ada salahnya mengunjungimu juga ...."
~*~*~*~*~
Di sebuah kompleks yang tenang dan damai, beberapa penghuninya tengah bersiap-siap untuk membereskan rumah seusai mengantarkan anaknya ke sekolah. Kadang-kadang terlihat satu atau dua orang yang memenuhi trotoar, sementara dalam rentang setengah jam ada kendaraan yang melintas. Entah akan keluar atau masuk ke dalam perumahan, bertegur sapa kepada siapa pun yang mereka lihat.
Beralih kepada sebuah rumah sederhana, di mana tampak dua orang pemuda di dalam garasi yang mereka jadikan bengkel kecil di sana. Salah seorang dari mereka baru saja menyapa seorang bibi tetangga yang lewat, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Tak lama seorang bocah dengan sepeda roda tiga datang menghampirinya.
"Selamat pagi, Timmy," sapanya.
"Pagi, Daniel! Apa kalian sedang bekerja untuk membuat jet lagi?!" tanya bocah itu, tampak sangat antusias dengan manik keabuannya yang berbinar-binar.
"Err ... yah ... kupikir begitu?" balas Daniel seadanya. "Omong-omong, aku sudah membuatkan sayap untuk sepedamu. Mau coba sekarang?"
"Wow ... kau benar-benar membuatkannya?! Tunjukkan padaku, tunjukkan padaku!!"
Sementara Daniel menyibukkan diri dengan Tim, seorang pria muda berambut hitam dengan manik biru terang memutar kursinya kembali menghadap meja. Dia mulai mengambil obeng dan menyiapkan sarung tangan besi yang sedang ia rancang. Aliran listrik hampir saja menyambar rambutnya jika saja ia tidak refleks menghindar.
"Ah, sial."
Di dalam rumah, tepatnya di sebuah kamar seorang pemuda baru saja terbangun dari tidurnya karena jam alarm yang jatuh tepat ke kepalanya. Dia meletakkan alarm tersebut ke nakas, sambil menguap segera turun dari ranjang dan keluar kamar.
"Oh, Adam! Selamat pagi," sapa seorang wanita berambut pirang. Sembari berbicara, kakinya bergerak menuntunnya ke dapur. "Kelihatannya kau lelah begadang semalaman untuk program baru. Jadi aku tidak membangunkanmu untuk sarapan."
"Yah ... pagi, Kak Nina ...," balas Adam sambil menggaruk pipi. "Aku semula membuat diagram alirnya mirip dengan program menampilkan hologram. Tapi ... ugh, aku benci dengan masukan sensornya."
"Tetapi kau sendiri yang setuju untuk membantu Edward—"
"Adam! Bagaimana dengan perkembangan programnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...