Udara semakin dingin. Tak seorang pun yang memedulikan tumpukan salju tipis yang menghiasi pepohonan. Masih saja penduduk di jantung Shibuya saling tak acuh, mengejar waktu.
Tiada yang berubah. Semua terasa sama di pertengahan bulan pertama.
Alford Corp. beraktivitas seperti biasa. Lobi utama tampak dihuni dengan beberapa orang, pula hanya sekedar dijadikan tempat menumpang lewat. Langkah kaki terdengar menggema akibat sunyi berkuasa. Kadang-kadang dengungan dari pembicaraan kecil pun mampu tersampaikan kepada telinga yang agak jauh jaraknya.
Demikian Akira berpuas diri memandang situasi lobi utama sembari mengimbangi langkah sang Madam. Bukanlah suatu hal yang sulit baginya. Sepatutnya Kirika merasa beruntung sebab ia tak pernah menerima sedikit pun keluhan dari android yang kelelahan.
Pasalnya, mereka memang tengah disibukkan oleh jadwal yang tertera pada agenda. Baru saja mereka melakukan rapat di laboratorium robotika, perihal perencanaan produksi android. Seusai rapat berakhir, Kirika lebih memilih untuk kembali ke kantornya kala itu.
Tepat di kala pintu kembar terbuka, tampak Silvis yang tengah menunggu. Pamannya yang semula menikmati keindahan langit biru langsung menoleh.
Bukan sambutan baik yang Kirika terima, tentu saja. Selalu ia dapatkan manik biru laut kepunyaan sang paman menerawang mimiknya. Sedikit pun ia tak pernah menggubris. Namun, kadang-kadang hati tak bisa menyembunyikan rasa jengah dari embusan napas cemas dari pria itu.
"Aku tahu kau memiliki banyak pekerjaan yang mesti kau emban, Nona," tutur Silvis kemudian. "Tapi ... tidak bisakah kau sedikit memedulikan jam tidurmu?"
Akira yang tengah berdiri tak jauh di belakang Kirika memandangi punggung yang memilih untuk abai terhadap pertanyaan yang terlontar padanya. Lantas pandangannya tertoleh kepada suara dengkusan penuh keluh dari Silvis.
Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengalihkan pembicaraan.
"Apa kau membutuhkan sumber daya manusia lebih banyak untuk produksi androidnya?"
"Tidak perlu. Belum saatnya memperbanyak tenaga kerja meski pendapatan perusahaan masih stabil," balas Kirika segera. "Lagi, aku memintamu datang hanya untuk sedikit berdiskusi. Seperti biasa."
Selagi Kirika mulai menyalakan monitor meja, Silvis mulai merogoh saku jas. Dia mendapati kacamatanya dari sana yang kemudian ia kenakan.
"Memang merupakan langkah yang tepat untuk memulai produksi android sekarang ... mengingat saat ini kita lebih unggul dalam bidang teknologi," ujar Silvis sembari membenarkan sedikit posisi kacamatanya. "Nah, sekarang biarkan aku mendengar rencanamu."
"Hal yang kau katakan mengenai keunggulan kita memang merupakan alasan yang tepat. Pun, mengingat kita mendapatkan jatah dari pemerintah beberapa persen, bukan? Kupikir ...."
Jeda dari Kirika lantas membuat Silvis mengangkat pandangan dari dokumen-dokumen yang tertera di monitor meja. Persis ia dapati keponakannya yang mendengkus sembari membanting punggung ke badan sofa selagi dirinya menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Kupikir ada baiknya jika kita sedikit berkontribusi ke bidang pariwisata," tutur Kirika. "Tidak hanya membantu atau bahkan menciptakan taman rekreasi. Mungkin android ini akan berguna dalam museum.
"Dalam bayanganku, museum akan lebih menarik jika terdapat beberapa android tokoh-tokoh ternama dalam sejarah. Yah ... aku lebih menargetkan anak-anak yang mana pada usianya lebih menyenangi hal-hal yang menarik mata. Kau pasti tahu, penjelasan dari para pemandu selalu berlangsung tidak kondusif, sehingga tidak seluruh anak-anak yang berkunjung menerima informasi dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
حركة (أكشن)18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...