Memulai proyek terbaru, lalu berusaha membuat jalinan kerja sama baru, sudah pasti membutuhkan tenaga dan memakan waktu. Kirika kembali sibuk dan jarang berada di kantor. Baru saja ia menghadiri pembukaan besar di museum seni baru di Akibahara, Kirika sudah harus meluncur menuju Yokohama. Seperti biasa, ia akan bersama Akira.
Meski manik delima itu memandang datar keluar kaca, tetap saja ia lebih memilih menjauhi sinar matahari meskipun ia tak begitu sensitif seperti semasa kecil. Dia selalu gusar konon memandang fatamorgana atau segala macam hal yang memancarkan silau yang tak enak untuk dinikmati.
Sekarang ia hanya bisa berharap awan-awan putih akan menutupi kemilau laut di dekat taman bermain yang hendak ia kunjungi.
Akira sesekali memandang Kirika dari spion tengah. Ya, memang sudah menjadi rutinitasnya ketika menyetir. Tidak seperti biasa, ia mendapati sang Madam tak berpangku dagu. Jadi ia mulai memilih jalan yang tidak terlalu terik.
"Apa Anda tidak berminat untuk mengganti busana, Madam? Saya pikir itu bukan pakaian yang tepat untuk mengunjungi taman bermain," celetuk si android selagi ia berbelok ke pom bensin. Dia memang sempat mengamati Kirika yang bersiap-siap dengan kantong kertasnya.
"Kau bisa menungguku di tepi jalur keluar. Pastikan untuk tidak menghalangi jalan kendaraan orang lain."
Begitu mobil mulai mengantri, Kirika keluar tanpa basa-basi.
Akira menunggu di tepi jalur keluar seusai mengisi bensin. Pom bensin yang sempit amat jarang disinggahi. Sejenak Akira mengamati pom yang dihampiri satu hingga dua mobil dalam jangka waktu yang agak panjang.
Hendaknya si android berpindah pandangan ke depan, ponselnya bergetar. Nomor yang tak dikenal jika ia amati dari dalam kepala. Kode negaranya berbeda pula.
Cukup lama dia membiarkan ponsel terus bergetar. Tepatnya, ia memang sengaja menunggu. Tapi agaknya ia tak tega membuat si pemanggil menunggu. Dia tak perlu berpura-pura di dalam mobil, maka ia hanya mengangkat telepon dengan satu kedipan.
Suara familiar teramat jelas ia tangkap kemudian, "Halo? Akira?"
"Profesor Radiovalenka ...." Akira termangu. Tak lama, terlintas ada perihal yang perlu ia sampaikan. "Saya pikir Anda sibuk di Rusia. Profesor Aoi sangat khawatir. Saya harap Anda sudah menghubungi beliau."
Jelas terdengar Eleonor tergelak.
"Tenanglah, aku sudah menghubunginya. Katakan padanya, tidak perlu sering-sering khawatir. Aku baik-baik saja," tutur Eleonor. "Jadi, kenapa kau tidak mengangkat teleponku lebih cepat? Padahal kami sudah membuatkan jalan pintas untukmu. Apa cara itu sudah tidak berfungsi lagi?"
"Maafkan saya ... saya mengira panggilan Anda sekadar panggilan iseng."
Eleonor menghela napas.
Sementara di tempatnya, si profesor tengah duduk menghadap khalayak. Tetap pandangannya lurus ke depan menembus kaca yang membatasi kafe dan trotoar, tak teralihkan kepada masyarakat sedang berlalu lalang. Fokus Eleonor terus tertuju kepada sebuah mobil yang ia kenali plat nomornya.
Senyumnya merekah tepat mendapati Kirika melangkah menuju mobil dengan baju terusan berwarna putih dengan kardigan krim.
"Ah, pakaian yang sempurna."
"Ya, Profesor?"
Empunya manik biru tersebut mengedip. Pada akhirnya ia kembali ke ponsel yang masih setia ia jajalkan di telinga.
"Akira, kau ingat program yang pernah kita diskusikan belum lama ini?"
~*~*~*~*~
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...