Salju sudah mulai mencair. Permulaan musim semi disambut baik oleh para penduduk setempat. Mereka memulai pagi dengan aktivitas seperti biasa. Matahari bersinar cerah untuk menyambut kedatangan bibit-bibit bunga yang akan bermekaran di pertengahan bulan. Nenek tetangga pasti sudah siap untuk berkebun di atap hari ini.
Setidaknya meski dengan kemajuan teknologi, masih ada yang ingin peduli untuk bercocok tanam secara tradisional dan mereka menyenangi kegiatan itu. Paling tidak mereka masih peduli dengan persediaan udara segar dari pepohonan, jadi tidak perlu heran mengapa masih banyak pepohonan di kiri-kanan jalanan.
Ada sebuah rumah yang benar-benar terlihat tidak ramah pemiliknya. Sang empunya membangun tembok yang tinggi, lengkap dengan pagar yang tak mengizinkan untuk sekedar melihat pemandangan halaman mereka. Bahkan tidak pula diizinkan untuk mengintip.
Seorang pria dengan rambut perak tengah berdiri menghadap jendela di ruang tengah. Setelah bertepuk tangan dua kali, tirai yang menutupi jendela perlahan tertarik ke atas. Jendela mengizinkan cahaya matahari masuk. Manik biru langitnya memandang lurus pemandangan di luar. Hidung yang mancung itu diam-diam menghirup udara. Lantas kemudian ia menghembuskan napas perlahan.
"Sayang, dasimu."
Sebuah suara membuat pria itu menoleh ke sumbernya. Wanita dengan rambut kemerahan dan manik keemasan tersenyum lebar sambil berjalan menghampirinya. Di tangan wanita itu terdapat dasi biru gelap.
Si wanita segera mengalungkan dasi dan mulai mengikatnya. Maniknya tak berhenti menatap manik biru laut milik suami dan senyum masih saja melekat di wajah manis itu.
"Terima kasih, Aleah," kata pria yang kemudian mengecup singkat kening sang istri.
Aleah kemudian menjepitkan dasi ke kemeja suaminya. Barulah ia merapikan sedikit poni si pria yang sedikit berantakan.
"Baiklah, sempurna!" ujarnya kemudian. "Kau tidak boleh berantakan untuk pelantikanmu, Tuan Silvis Alford."
"Tapi sebenarnya ini hari besar untuk anak itu."
Istrinya memiringkan kepala, beberapa kali sempat mengedipkan mata.
"Oh, benar juga ... tapi tetap saja bagimu ini juga hari besar. Ah, tidak. Maksudku ... bagi kita semua," kata Aleah. "Dia sudah bangun?"
Mengingat anak yang tengah dibicarakan belum juga muncul, Silvis menarik napas panjang seiring dengan kedua bahunya yang terangkat.
"Entahlah. Aku akan membangunkannya."
Aleah mengangguk. Tak lama, Silvis melangkah cepat meninggalkannya.
Sebuah suara dari robot penyedot debu mengundang Aleah untuk menoleh. Wanita itu selalu senang dengan keberadaannya. Maka ia mengembangkan senyum, hendak menyapa si robot berbentuk lingkaran tersebut.
"Halo, Jessie. Pagi yang indah, ya?"
Senyum Aleah mengembang semakin lebar ketika Jessie menampilkan kalimat singkat berupa sapaan sebelum ia kembali bekerja.
Sementara Silvis, si pria berambut perak, melangkah menaiki tangga sambil mengancingi jas. Ia menaiki tangga, maniknya tertuju kepada sebuah pintu putih polos tak berhiaskan apa pun selain kenop pintu.
"Kirika," panggilnya setelah sampai di depan pintu.
Di dalam sana sebuah kamar yang luas dengan nuansa putih yang mendominasi, lengkap dengan meja kerja, lemari yang memenuhi setengah salah satu sisi dinding dari sudut, dan juga ranjang berukuran besar. Di atas ranjang itu tampak seseorang yang masih bergelung selimut.
Tepatnya seorang wanita dengan rambut merah muda keemasan yang masih berantakan, lengkap dengan sepasang manik yang masih tertutup sempurna. Padahal telinganya benar-benar peka dengan suara Silvis di luar sana. Dia memang sengaja, bahkan nyaris saja membalikkan tubuh sebelum suara alarm juga ikut menyusul untuk merusuh kegiatan tidurnya yang berlangsung damai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Acción18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...