"Kudengar kau memanggilku?"
Suara bariton dari seorang pria yang nyaris mencapai paruh baya membuyarkan fokus sang Madam. Sementara manik biru langit yang masih berdiri di ambang pintu mendapatinya duduk di set sofa bersama mimik berselimut kejut.
"Kemarilah, Paman." Demikian ia menyurutkan air muka. "Aku hanya ingin sedikit berbincang kalau kau tak keberatan."
Maka Silvis mendekat sembari ia melepaskan jas laboratorium selagi Kirika menutup semua dokumen yang tampil melayang dari monitor hologram. Namun, ia bukannya segera duduk di samping keponakannya, malah sekadar berdiri lalu menangkup wajahnya yang kemudian ia angkat.
Kirika entah mengapa sama sekali tak menolak perbuatannya. Dia membiarkan Silvis mengamati wajahnya menggambarkan lelah, tetapi tetap ia sungging senyum samar kepada pamannya.
"Suhu tubuhmu meningkat."
"Banyak urusan yang tidak bisa ditinggal, Paman," balas Kirika. Sungguh tak biasa, suaranya terdengar sabar; lebih lembut pula. Konon Silvis menurunkan tangan, ia kembali menepuk bagian sebelah sofa yang masih kosong seraya berujar, "Duduklah."
Seiring Silvis menuruti permintaannya, Kirika lalu mencetuskan "Tidak seperti biasanya kau tidak ingin berceramah."
"Soal?"
"Jangan mengaku tidak tahu."
Satu kerjapan bahkan sudah cukup membuat netra birunya menunjukkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Ya, tepatnya Silvis mengerti maksud Kirika soal sisa-sisa bau rokok.
Dia sudah tahu Kirika mulai merokok sejak kedua orang tuanya meninggal. Pun, sempat ia memergoki keponakannya. Percuma saja melarang Kirika. Dia tak mau mendengarkan.
Ah, memangnya kapan pula ia tak mengalah dengan sikap Kirika yang keras kepala?
Itulah yang membuat Silvis enggan untuk ambil pusing soal bau rokok yang menguar di sekitarnya.
"Kalau aku menceramahimu, apa kau akan berhenti?" balas Silvis kemudian.
"Mungkin ini yang terakhir, siapa tahu?"
"Katamu, kau akan berhenti jika kau punya anak. Jadi apakah sekarang itu mungkin?"
Sekilas kening Kirika berkedut tersinggung. Namun, dia sekadar menjawabnya dengan tawa kecil. "Tidak ada yang tahu soal masa depan, bukan begitu?"
Silvis mengumbar senyum tepat mendengarnya. Ketimbang memperpanjang masalah soal candu terhadap rokok yang diidap Kirika, ia lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan sekarang.
"Ada hal yang mengganggumu?"
Dimulai dari pembukaan yang paling mendasar, Kirika pun agaknya tak keberatan. Malah, ia menanggapinya dengan satu anggukan.
"Kau tahu peperangan sudah dekat. Jadi aku melakukan banyak riset mengenai penelitian Alex Oohara yang mana juga melibatkan Kenji dalam satu eksperimennya ...," terang Kirika. "Anak itu memang terlahir ringkih, bukan? Alex benar-benar memandangnya sebagai kelinci percobaan yang sempurna."
"Begitulah." Silvis setuju. "Alex memang melakukan penelitian dengan tujuan menyembuhkan makhluk hidup, tetapi ia mengambil langkah pintas yang salah akibat obsesinya terhadap keabadian. Bahkan segala kesuksesan jenjang karirnya di masa lampau harus tertutupi dengan satu kegagalan penelitiannya kali ini; yang mana juga mengorbankan banyak jiwa.
"Kenji—katakanlah secara ajaib—menjadi salah satu kelinci percobaannya yang berhasil dan merupakan satu-satunya subjek yang bertahan hidup hingga saat ini. Eksperimen penggabungan DNA juga membantunya meregenerasi luka lebih cepat; bahkan lebih unggul jika dibandingkan kemampuan penyembuhanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Ação18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...