Bulan purnama berpendar di balik awan yang mengapung bersama angin musim dingin. Sedikit pun tak tampak pertanda bahwa salju akan ikut bertamu, tetapi cukuplah mereka menyampaikan betapa mengigit sensasi muram di sekitar, lantas terus melewati sunyi setiap sudut kota.
Angin menjelajahi persimpangan Shibuya yang janggal. Tiada khalayak yang menciptakan ratus juta jejak seperti biasanya, televisi besar tak menyala menyiarkan berita maupun iklan menarik. Kehangatan jelas melenyap selagi warna yang senantiasa meramaikan suasana itu sirna.
Sekadar terdapat lampu-lampu di pinggir trotoar yang menerangi jalan, tetapi tetap saja tak berhasil mengurangi sendu malam. Suara derak-derak roda rantai dari tank dan baling-baling helikopter yang berputar cepat terus menambah ketegangan.
Mobil pengangkut personel menurunkan sejumlah prajurit berpakaian serta membawa perlengkapan perang di setiap perbatasan dan beberapa titik, terutama kawasan pengungsi mandiri. Sementara tiap-tiap pintu menuju Districts Underground dijaga Human Helper yang akan mendata masyarakat. Untuk mengulur waktu, terdapat dua pintu masuk menuju Districts Underground. Sesuai dengan regu yang telah dibagi sesuai dengan gelang bernomor, mereka akan mengantri di depan sana.
Salah seorang pria muda yang merupakan penduduk setempat menangkap bahwa di regu seberang terdapat lebih banyak orang-orang asing, sedangkan hanya segelintir penduduk asli yang bergabung di dalamnya. Betapa ramah petugas melakukan pengecekan ulang data serta memberikan kebutuhan-kebutuhan kecil untuk tetap bertahan di bawah tanah nantinya.
Yah, memang tiada seorang pun yang tahu berapa lama perang ini akan berlangsung, batinnya.
Beruntung evakuasi yang berlangsung hingga tiga hari tiga malam berjalan lancar. Sama sekali tiada halangan yang mengganggu kegiatan ini.
Tepatnya belum.
Bahkan bulan belum seutuhnya menampakkan diri, bukan? Bisa saja musuh enggan mengkhianati pengumuman yang ia buat sendiri. Seolah itu dapat membuat pertunjukan berlangsung spektakuler dan sempurna.
Namun, bagaimana pun juga segala pencapaian membutuhkan persiapan yang matang.
Mengingat larangan akan membawa senjata masuk ke ruang evakuasi tersebut, si pria muda berganti-ganti pandangan, mendapatkan segala sesuatu yang menarik di sekitar sini. Misalnya wanita yang sedang memastikan pisau kecil benar-benar tersimpan di tapak sepatu, atau wanita paruh baya yang menggunakan konde yang ia tahu bahwa itu mengandung racun ketika sabuknya dibuka. Belum lagi pria paruh baya di belakangnya yang sedang menyusutkan shuriken* rakitan di jam tangannya.
Mereka tampak berhati-hati, bahkan si pria muda bisa memastikan bahwa masyarakat di sekitar sini sama sekali tak menyadari semua yang telah ia lihat. Senjata-senjata di tangan mereka masing-masing pastilah akan berguna untuk merebut senjata-senjata besar dari tangan para pengawas.
Yah ... tidak akan lengkap rasanya jika masyarakat tidak diusik, bukan? Kira-kira begitulah kata sang Tuan Muda; pun itulah pernyataan yang membawa para mantan pasukan Oohara Corporation kembali bertugas.
Sudah begitu lama ia mengumpulkan anggota-anggota baru. Bahkan serupa sebagaimana agen rahasia dari divisi kemiliteran Alford Corporation bekerja, maka begitulah koneksi mereka tersebar lebih luas hampir di kota-kota besar Jepang. Hanya tinggal menunggu waktu untuk bergerak, terus saja menyamar sebagai masyarakat.
Hingga detik ini dengan bersembunyi di dalam selimut musuh, demi lolos memasuki Districts Underground untuk membuat kekacauan sebagai bentuk penyampaian kebencian Kenji terhadap masyarakat. Tetap bersama topeng datar dan tak tahu-menahu, mudahlah bagi mereka menuntaskan tugas pertama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...