Chapter 2.4

103 28 60
                                    

Baru saja Leon sampai di sebuah kafe kecil yang letaknya tak begitu jauh dari hotel di mana ia menginap. Dirinya memutuskan untuk duduk di dekat jendela. Tepat dari posisinya, ia mendapatkan pemandangan gedung tinggi dari hotel Howard.

Tepat pelayan hendak menghampirinya, ia sudah lebih dulu memesan kopi hitam. Lantas ia kembali melemparkan pandangan kepada gedung hotel Howard.

Mengawasi Kirika dengan jarak tertentu merupakan misi sulit yang ia jalani. Sama sekali belum ada pesan dari Akira, sepertinya tidak ada masalah yang terjadi. Belum ada kabar lain dari Akira setelah ia mengabarkan bahwa Silvis dan Aleah telah tiba kemarin malam.

Sesungguhnya dia agak sedikit lega dengan kedatangan Silvis. Leon bisa bersantai menemui putri semata wayangnya.

Tapi tampaknya tidak demikian.

Bersamaan dengan kedatangan kopi hitam pesanannya, suara lonceng pintu mengundang Leon menoleh. Sumber suara juga mendatangkan seorang wanta muda yang dia tunggu-tunggu. Kontan senyum Leon terukir jelas mendapati Leona berdiri di sana.

Lebih kepada senyum prihatin.

Betapa tidak? Leona hadir bersama dengan wajah kusut, berhias kantong mata yang sedikit menghitam. Dia tak melupakan jas dinasnya, kini sedang ia tenteng di tangan kanan. Pun, dia membawa dompet dan sedikit dokumen di tangan kiri. Sungguh, bahkan kedua tangan itu tak diberi istirahat barang sedikit saja.

Langkahnya terdengar sengaja sedikit dihentak-hentakkan. Ketukan dari sepatu berhak pendek itu adalah buktinya.

Leona belum berkata apa-apa, bahkan sampai ia duduk menghadap sang ayah. Sementara Leon menunggu dengan sabar, masih saja mempertahankan senyum. Lagi, senyumannya kian melebar sembari ia bersandar dan bersedekap. Manik elang bersorot tajam miliknya pula kian melembut, sebuah pelampiasan bahwa ia sangat merindu.

"Kira-kira seberapa banyak mereka merebut jam tidurmu, Tuan Putri?"

Yang ditanya justru sekedarnya menguap sebentar. "Entahlah, aku juga sudah tak ingat indahnya masa-masa tertidur di kasur."

Ah, jadi dia juga jarang pulang. Leon terkekeh.

Salah seorang pelayan menghampiri, menjeda percakapan mereka barang sejenak. Si pelayan tak perlu berlama-lama menunggu. Leona bahkan melakukan hal yang sama dengan Leon di kala memesan, meski minuman yang dipesannya berbeda.

Tentu saja mereka tidak peduli apakah pelayan itu akan memendam dendam sama sekali saat ia kembali ke tempatnya.

"Bagaimana dengan ratumu? Dia baik-baik saja?" Demikian Leona mengalihkan pembicaraan. Dia menoleh ke luar jendela, sedikit menengadah memandangi gedung tinggi dari hotel milik Howard sebelum kembali memandang ayahnya. "Kudengar dia sedang menghadiri pesta selebrasi di sana."

"Ya. Aku datang untuk mengawasinya," jawab Leon. "Untuk sementara hotel itu hanya boleh dikunjungi oleh orang-orang yang menerima undangan. Kau pahamlah."

"Sayang sekali. Padahal aku mau mengajaknya bermain."

"Huh. Tetap tidak berubah, ya."

Sahutan Leon kemudian ia akhiri dengan menyesap kopi yang sudah hilang kepulan uapnya. Sembari merasakan kopi yang mulai masuk ke saluran pencernaan, sebentar ia menghirup kopi dan melirik Leona yang sudah memangku dagu.

"Jadi, bagaimana dengan kasus penyelidikannya?" Sekali lagi Leon membuka percakapan.

Leona tak langsung menjawab. Tak lebih dari dengkusan gusar, ia berakhir menjatuhkan maniknya kepada dokumen yang tergeletak tak jauh dari siku. Tangan yang tengah lapang dari pekerjaan lantas segera menyeret dokumen.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang