Ditemani langkah yang sengaja terseok-seok, pula terdengar napas terengah keluar dari bawah tanah. Lantas mendengar suara langkah yang mengusik telinga, salah seorang polisi mengarahkan lampu senter padanya. Tampaklah Akira segera berpaling gugup, menutup mata dari sinar yang memancar memperlihatkan sosoknya. Barulah mendapati seseorang yang lolos dari sana, buru-buru sejumlah polisi berhambur mendekat.
Sementara si empunya lensa kemudian berpaling kepada Leon yang berdiri cukup jauh dari kerumunan polisi. Yang merasa ditatap segera menoleh. Hampir saja pria itu tak mampu menyembunyikan delik dari manik kehijauannya. Maka ia memilih berpaling dan sengaja menggeser posisi agar ia bisa mendengar sedikit percakapan dari mereka.
"Kau tidak apa-apa?" Lalu sebuah suara membuat Akira menoleh kepada sumbernya.
"Mohon ikuti kami. Anda akan aman bersama kami."
Segera Akira mengernyit. Tampak ia menelan ludah, menggeleng kencang.
"Orang-orang di ballroom dalam bahaya. Tolong mereka, lekas!" ujar Akira dengan suara serak. Leon bahkan menahan napas ketika sadar dia sudah mengatur suaranya sedemikian rupa. Sementara si android melanjutkan seusai ia berdehem, "Saya dipaksa mereka untuk keluar, lalu diperintahkan untuk mencari ruang kendali listrik.
"Saya ... saya terlalu takut untuk kembali ke sana. Mereka ... mereka juga menghajar saya sampai seperti ini. Tolong bantu mereka!"
Langkah sepatu bot yang sengaja agak dihentakkan perlahan mendekat, mengundang semua orang menoleh ke sumber suara. Leon mengindahkan tiap-tiap manik yang tertuju padanya, lantas menakkan dagu sembari memandang lurus ke arah Akira.
"Kau melihat pelaku dari segala rencana yang terjadi sini?"
Lensa android itu kemudian berpaling, tampak tengah mengingat-ngingat. Agaknya kurang meyakinkan melacak tiap-tiap pengguna ponsel di dalam kawasan yang sedang mengalami malfungsi sinyalnya. Maka segera Akira bergerak cepat meretas identitas yang tertampung dari laptop resepsionis yang tertinggal dalam keadaan menyala.
"Saya tidak tahu pasti," gumam Akira. "Saya tidak memerhatikan siapa pun, semuanya langsung gelap sebab saat itu saya baru saja masuk ke ballroom."
Akira berkedip. Berganti pandangannya kepada Leon, terlihat agak nanar. Akhirnya, ia meneruskan, "Tapi saya yakin, James Howard juga berada di sana."
Gemuruh menyambar. Kemudian salah seorang polisi beralih menghubungi rekannya dengan walkie-talkie. Beberapa orang mulai menoleh keluar, mendapati rintik-rintik air yang perlahan mulai datang beramai-ramai.
Lagi, salah seorang menanyai Akira, "Mengenai taman ... apa kau sudah ke sana?"
"Tidak ada orang sama sekali. Tampaknya orang-orang sengaja dialihkan ke ballroom," jawab Akira segera. "Saya juga tak menemukan majikan saya setelah penyergapan. Kami terpisah begitu saja, Pak."
Setelah mendengar jawaban Akira, tak lama polisi ikut melaporkan kejadian.
~*~*~*~*~
Silvis menahan napas. Di ballroom temaram yang nyaris tertutup penuh oleh gelap, maniknya menyalang kepada James yang tengah mengelilingi mereka yang terkepung di tengah ballroom. Langkah pria muda itu seolah mengetuk-ngetuk lantai dengan angkuh.
Manik biru laut kemudian jatuh kepada Witney yang menjatuhkan pandangan nanar. Kernyitan di kening wanita itu terlihat jelas meski berada di dalam remang. Dia terisak, tetapi tampaknya tak lagi kuasa untuk bersuara. Sementara anak bungsunya hanya memandang dalam diam, berharap agar sang ibu mau tenang.
Tentu ... seorang ibu tidak akan pernah menginginkan anak-anak mereka menjadi seorang penjahat.
Para tamu dipaksa duduk di lantai. Tangan mereka sudah diikat di belakang punggung masing-masing. Berbagai mimik terpampang di antara temaram, kebanyakan tampak mengeluh gerah dalam ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Ação18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...