Puluhan buku menumpuk di meja sukses membuat Eleonor mengernyit heran. Dilihatnya Adam di sana, sedang asyik berkutat kepada salah satu dari mereka. Kadang-kadang Eleonor bisa dengar ia yang mengeluhkan beberapa bahasa yang tidak ia mengerti. Di sampingnya ada Akira yang selalu menuturkan hal yang Adam tak mengerti sama sekali, tentu dengan bahasa yang lebih sederhana.
Segera manik birunya tertuju pada Aoi yang masuk laboratorium, sedang menyibukkan diri dengan menggurat-gurat tablet. Si profesor muda merasa tengah diperhatikan menghentikan langkah, menoleh pada Eleonor dan tersenyum padanya. Maka ia pun melangkahkan kaki menghadap Eleonor.
"Mohon maaf sebab belum mendiskusikan hal ini kepada Anda, Profesor," kata Aoi di sela langkah yang belum menyampaikan dirinya di hadapan Eleonor. "Namun selagi Anda di sini, saya akan menjelaskan semuanya dari awal."
Sebentar Eleonor terpaku dengan manik yang mengerjap beberapa kali. Seolah mampu menyadarkan dirinya, ia langsung saja mengangguk cepat. Lekaslah ia membimbing Aoi ke kantornya.
"Beruntung, ya. Tampaknya kalian sudah menemukan apa yang menjadi masalah mengapa Akira sama sekali tidak diterima oleh Madam."
Meledaklah kekehan singkat dari Aoi. "Entahlah. Saya sendiri sama sekali belum yakin memastikan jika hal ini benar."
Sesampainya mereka di dalam kantor, Aoi meminta izin untuk mengirimkan beberapa data catatan ke komputer Eleonor. Dia membiarkan Eleonor untuk membaca satu per satu terlebih dahulu.
"Sederhananya, Akira membutuhkan jantung dan darah," kata Aoi. "Dan juga ... perasaan yang mendukung dirinya lebih ekspresif."
Selagi membaca, Eleonor menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Kemarin saya memintanya untuk tersenyum dan meratap. Saya pikir dia melakukannya dengan cara meniru, dia sendiri bahkan mengaku bahwa ia melakukan hal demikian," lanjut Aoi. "Kita perlu menciptakan program untuk hormon-hormon yang bersangkutan pada perasaan.
"Sederhananya, ketika Akira merasakan perasaan yang berlebih, hal tersebut akan membuat jantung memompa darah lebih cepat, mengakibatkan tekanan darahnya pula semakin cepat."
Kala Aoi berhenti, Eleonor kembali berfokus pada dokumen. Sistem peredaran darah, tulisan mengenai hormon. Seluruhnya tersusun dengan rapi. Eleonor juga menangkap amat banyak kutipan psikolog di dalam dokumen, sukses saja membuatnya ingin berdecak kagum terang-terangan.
"Cukup masuk akal menyebutkan emosi merupakan kekurangan Akira," ujar Eleonor. "Mungkin kita bisa mengerjakan programnya. Tapi ...."
Sejenak Eleonor menjeda, memandangi detail dari sistem peredaran darah. Sementara Aoi masih menunggu di sampingnya.
"Kita membutuhkan bantuan yang sangat besar kali ini. Mungkin ... kita membutuhkan bagan biogenik. Di antara mereka lebih paham mengenai organ dalam, terutama Profesor Aleah Alford."
"Aleah ... Alford?"
"Bibi dari Madam." Begitu Eleonor menjawab sembari menoleh kepada Aoi. "Kau tidak tahu?"
Jawaban Eleonor membuat Aoi berusaha mengingat-ngingat nama tersebut. Tentu saja, ia pernah mendengarnya dari Kirika sendiri. Namun, mereka tidak pernah berjumpa secara langsung. Melihat sosoknya pun teramat jarang.
Dalam hati, Aoi merasa beruntung setelah mendengar proyek selanjutnya mereka akan dipertemukan. Tapi pikirannya kembali kepada proyek yang harus disembunyikan.
"Tenang saja. Setiap bagan sudah mengetahui proyek atau perancangan apa yang tengah dikerjakan. Masing-masing dari kami bersepakat untuk tidak membocorkannya kepada siapa pun sampai proyek itu selesai dan benar-benar siap untuk diproduksi," terang Eleonor, seolah membaca pikiran Aoi. "Aku berteman baik dengan Profesor Alford. Kupikir tak ada salahnya jika aku memintanya bantuan kali ini. Kau pun tidak bermasalah dengan hal itu, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]
Action18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda baik. Namun sebaliknya, kalau kelabu berarti pertanda buruk. Semua yang hidup mendapatkan hal serupa...