Six

4.5K 336 4
                                    

Vote dulu ya, biar bacanya lebih afdol 😍

✌✌✌

"Bisa kerja gak sih?!"

Dante melemparkan tumpukkan dokumen ke atas mejanya. Tiga orang perawat, termasuk Evo, yang ikut masuk ke ruangannya terlonjak kaget.

Mereka menunduk dengan kedua tangan saling menyatu dengan sopan. Tak ada yang berani melihat ke arah ketua tim yang sedang marah itu.

"Siapa yang punya tanggung jawab menyerahkan rekam medis ini ke bagian kandungan?"

"Saya, pak." Seorang perawat, satu-satunya laki-laki dari ketiga perawat di depan Dante ini mengangkat tangan.

"Jadi apa alasan kamu buat ngebela diri?" nada suara Dante tidak melembut. "Lupa?" Dante melihat lekat ke arah perawat pria yang masih menunduk itu. "Atau tidak sempat?!"

Semakin dalam kepala perawat pria itu menunduk. Dante mendengus berkali-kali.

"Apa sih yang kamu pikir sampai bisa lupa? Sebegitu numpuknya kerjaan sampai kamu tidak sempat menjalankan tanggung jawab? Tidak bisa membedakan yang mana harus dijadikan prioritas?!"

Beginilah Dante jika sudah menyangkut soal pekerjaan. Dia bukan tipe pria yang gila kerja, tapi Dante sangat sensitif jika itu soal kerjaan yang harus mendapatkan tanggung jawab penuh.

"Masuk kerja dengan wawancara tapi gak punya tanggung jawab setelah masuk ke pekerjaan itu! Gak becus semua!"

Dante meraih botol mineral di atas mejanya, lalu menenggak isi botol itu sampai habis separuh.

"Saya yang salah di sini, pak." Dante melihat ke arah Evo yang menegakkan kepalanya.

"Apa lagi sekarang? Kamu mau sok membela teman kamu?" suara Dante kini sedikit menurun. Dilihatnya Evo yang menatap lurus ke arah dinding, seolah menolak bertemu tatap dengannya.

Dan itu membuat Dante semakin kesal.

"Yang seharusnya menyerahkan rekam medis ke bagian kandungan itu saya. Tapi perut saya terus kram karena datang bulan, jadi saya meminta tolong ke Fikri dan Tia untuk menyerahkan rekam medis itu. Dan keadaan di ruangan rontgen waktu itu memang sedang sibuk karena banyak keluarga pasien memaksa untuk melakukan rontgen setelah ada kecelakaan beruntun. Maafkan saya karena kelalaian ini, pak."

Hening. Fikri dan Tia melihat ke arah Evo dengan tatapan bersalah. Tia bahkan sudah memegang lengan Evo dengan kuat.

Dante mendekat ke arah Evo, membuat Fikri dan Tia kembali menunduk.

"Kamu tau, karena kelalaian kamu ini, satu nyawa pasien hampir melayang begitu saja. Kalo rekam medis dari devisi radiologi tidak sampai ke bagian kandungan, pasien tidak bisa melakukan USG untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan pasien sudah kesakitan karena asam lambung kronis yang dideritanya."

"Saya mengaku itu salah saya, pak." Evo berucap tegas.

Jangan nangis, Vo. Gak boleh nangis di depan manusia dingin ini.

Evo menarik dalam napasnya. Mencoba menghalau airmata yang sepertinya sudah menggenang di pinggir mata.

Pandangan Evo bahkan sudah mengabur. Tidak! Evo tidak ingin terlihat lemah hanya karena mengakui kesalahannya.

Hormon dateng bulan sialan!

"Terima kasih untuk pengakuan kamu, biarpun sebenarnya saya tidak butuh." Evo melirik sekilas ke arah Dante yang tidak sedikitpun menunjukkan wajah bersahabat. "Jangan sampai hal ini terjadi untuk kedua kalinya. Saya paling tidak bisa mentolerir perawat yang tidak punya rasa tanggung jawab."

DAN (Sudah Pindah Ke Ican Novel Dan Kubaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang