Twenty Eight

4.9K 404 15
                                    

Double up, muehehehehe. Divote yak, gracias 😇

✌✌✌

"Kamu siapa?!" gadis kecil itu berteriak saat seorang anak laki-laki seusianya masuk ke ruang rawat inapnya.

"Ini aku, Keith," jawab bocah laki-laki itu dengan wajah berkerut sedih.

"Pergi!!" teriak gadis kecil itu melempar segala sesuatu yang ada di dekatnya ke arah bocah laki-laki itu.

Tapi seperti tidak takut akan terkena hantaman barang-barang yang gadis itu lemparkan, dia terus maju dan mencoba mendekat.

"Pergi! Aku gak kenal sama kamu. Pergi!" seperti begitu marah dengan sesuatu, gadis itu benar-benar terlihat tidak menyukai kehadiran bocah laki-laki yang kini terdiam di tempatnya berdiri.

Airmata sudah lolos membasahi pipi gembul bocah laki-laki itu.

Orang tua gadis kecil itu masuk dan terkejut dengan kamar inap yang berantakan karena kemarahannya.

"Dante. Keluar dari sini, nak," pinta ibu gadis itu.

"Tapi aku mau ketemu Keitha, tante."

"Dia masih trauma, Dan. Kamu bisa temui dia kalo dia udah baikan."

"Ayo keluar sama om, Dan," ajak ayah Keitha.

Bocah laki-laki itu menepis tangan ayah Keitha dan melihat ke arah gadis kecil yang sekarang sedikit tenang karena sang ibu memeluknya.

"Aku Dero, Keith. Kamu gak boleh lupain aku. Ini aku, Dante Derova Reuven. Kamu harus inget nama aku."

***

"Vo! Vo, bangun!"

Evo tersentak dan membuka lebar matanya. Melihat ke arah Tia yang mengguncang tubuhnya dengan mata yang masih terlihat mengantuk.

"Lo ngigau. Mimpi buruk ya, sampe teriak-teriak?" tanya Tia mengusap matanya.

Evo menarik dalam napasnya. Mencoba membuat napasnya kembali teratur.

"Sorry, Ti," ucap Evo, tak enak karena sudah membangunkan Tia karena teriakkannya dari mimpi buruk.

Setelah mengangguk dan mengusap lengan Evo sekilas, Tia kembali ke kasurnya untuk melanjutkan tidur.

Evo duduk dan bersandar di lengan ranjang. Mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat.

Napasnya sudah mulai teratur. Perempuan bermata hazel itu memejam, mengurangi pusing di kepalanya.

Dilihatnya jam dinding. Pukul dua dini hari.

Setelah di rumah sakit waktu itu, Evo kembali bermimpi tentang kejadian yang membuatnya trauma dengan api sampai sekarang.

Kejadian lima belas tahun lalu, yang sebenarnya tak ingin Evo ingat karena entah kenapa terlalu menyakitkan untuknya.

Lagi pula, Evo tidak ingin mengingat karena dia menjadi semakin takut dengan api besar.

Selama ini Evo sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan traumanya dengan api.

Bersyukurnya bahwa kompor di rumah mereka tidak menggunakan api. Kompor otomatis yang hanya perlu menekan beberapa tombol untuk membuat suhu kompor itu panas dan bisa digunakan untuk memasak.

Dan usahanya mengurangi rasa takut pada api nyatanya cukup berhasil karena Evo benar-benar tidak mengalami mimpi buruk seperti saat ini selama lima belas tahun terakhir.

Tapi kini, mimpi buruk itu sudah menghampirinya dua kali. Seperti yang Delaney ucapkan, mimpi itu memang membawa sebuah hal yang selama ini Evo ingin ketahui.

DAN (Sudah Pindah Ke Ican Novel Dan Kubaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang