Chapter 20: Harus Menepati Janji

656 120 102
                                    

Hari Jum'at, hari terakhir masuk sekolah. Memasuki hari libur bagi kelas satu dan dua, memasuki hari mengerikan bagi kelas tiga. Ujian penentu kelulusan.

Hari ujian yang semakin dekat membuat Seokmin terpuruk. Terlalu banyak masalah yang menghampirinya akhir-akhir ini. Termasuk berita mengenai kaburnya sang Ayah dari penjara. Setelah beberapa hari Seokmin tidak bisa masuk sekolah karena harus keluar-masuk kantor polisi untuk dimintai keterangan, di hari terakhir sekolah ini akhirnya ia bisa menampakkan diri di hadapan teman-teman.

Banyak yang ikut coba memberi kekuatan untuk Seokmin. Memberi semangat agar murid SMP kelas tiga dengan hidung bangir itu dapat melalui semua masalah sebaik mungkin tanpa celah. Namun tentu, tidak semuanya berhati malaikat. Tidak sedikit dari seluruh siswa dan siswi di sekolah SMP Hanin malah mencerca dan memaki. Mengatainya anak buron sekaligus pembunuh. Seokmin tidak bisa marah kali ini. Semua ucapan itu benar. Ayahnya sekarang memang menjadi buron. Berada di daftar pencarian orang. Dan Ayahnya memang pembunuh. Ibunya sendiri yang telah menjadi korban. Tidak bisa disangkal.

Di hari itu pula, untuk pertama kalinya Seokmin mendapat pesan singkat dari Jisoo. Selama ini kedekatan keduanya tak pernah bersambung melalui bantuan alat komunikasi. Alam seolah mendukung interaksi nyata mereka. Meski tak memiliki niatan bertemu, dunia terus menyatukan titik temu keduanya. Namun, kali ini malah sebaliknya. Jisoo harus mengerahkan tenaganya lebih banyak agar dapat bertemu dengan Seokmin. Merasa inilah waktu yang tepat untuk mencoba hal lain. Hubungi Seokmin.

Jika menunggu alam peka akan kerinduannya, mungkin tidak akan pernah membuahkan hasil. Memang mungkin akan berbuah, namun rasanya masam atau bahkan mungkin sangat pahit. Sudah cukup Jisoo seperti gadis tak waras karena mengkhawatirkan Seokmin. Tidak bisa tidur, mendatangi Dokseosil dan berharap dapat bertemu dengan Seokmin. Juga melakukan hal yang lebih gila lagi seperti melakukan bolos. Mendatangi pohon kesayangan Seokmin.

Sinyal yang dikirim lewat pesan singkat telah disambut Seokmin dengan sangat baik. Beberapa menit kemudian pesan itu terbalas. Mereka berdua membuat janji untuk bertemu di open space. Menghabiskan waktu bersama di bawah pohon, sama seperti dulu. Pertama kali mereka baikan setelah cukup lama sempat saling mendiamkan.

"Terima kasih."

Kata pertama penuh artinya. Meski diucapkan saat Seokmin menerima sebotol jus pisang, Jisoo yakin makna kata tersebut lebih dari sekadar terima kasih atas jus yang diberikan. Jisoo tersenyum, tidak peduli meski senyum itu tidak terlihat oleh Seokmin.

Setelah beberapa saat meneguk minumannya, Seokmin tertunduk. Memandangi botol yang sudah setengahnya ia minum. Dadanya kembali sesak. Dinginnya jus pisang tak memberi dampak banyak. Namun tentu rasanya jauh lebih melegakan. Ada Jisoo di sampingnya.

"Kamu laki-laki yang kuat, Lee Seokmin." Jisoo menepuk bahu Seokmin pelan. Berusaha menyalurkan energi yang masih ia miliki. "Ucapanmu dulu benar. Kamu itu sudah dewasa. Terbukti sekarang. Maaf karena aku sempat meragukan ucapan itu. Kamu bisa melewati semua masalah dengan cara yang dewasa. Aku jadi iri. Jika aku berada di posisimu, belum tentu bisa melewatinya sebaik caramu."

Seokmin terkekeh. "Jangan, noona. Masalah seperti ini terlalu menyakitkan. Jangan pernah membayangkan berada di posisiku."

Berkat tangannya yang masih bertengger di bahu Seokmin, Jisoo dapat merasakan guncangan di sana saat laki-laki Lee itu terkekeh. Entah tertawa meremehkan karena menganggap Jisoo gadis yang terlalu lemah, atau malah secara tidak langsung hendak mengatakan bahwa ia sekarang berada di titik terendah. Jisoo tahu bahwa Seokmin memiliki gengsi yang amat tinggi untuk mengakui sisi lemahnya. Namun hanya sampai di situ. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Seokmin sekarang. Apa yang ia inginkan untuk mengurangi rasa sakit.

Wait Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang