Chapter 8: Titik Lemah

661 140 83
                                    

Niat Jisoo untuk mengantarkan Seokmin pulang, paling tidak hingga halte terdekat dengan rumah anak laki-laki Lee itu ternyata malah berakhir gagal. Baru setengah perjalanan, gadis itu mendapat telepon dari Mama. Minta Jisoo pulang cepat, karena Papa Jisoo akan bertugas di Gangnam. Jisoo harus mengucap salam perpisahan sebelum terpisah selama kurang lebih satu minggu lamanya.

Belum sempat Jisoo mengatakan hal ini, Seokmin langsung menyela. Sepertinya ia sudah dapat mengerti arah pembicaraan Jisoo, meski hanya mendengar potongan dialog yang gadis itu bicarakan melalui sambungan telepon dengan orangtuanya.

"Aku memang tidak meminta noona untuk mengantarku pulang," ujar Seokmin.

Jisoo senyum, meski sedikit kesal. Wajar jika guru-guru di SMP begitu kesal dan sering memarahi Seokmin. Setiap hari harus menghadapi ratusan murid yang memiliki sifat beraneka ragam. Satu saja yang memiliki sikap seperti Seokmin, pasti akan membuat kepala mereka pusing.

Tapi, dengan diperlakuan Seokmin seperti ini, membuat Jisoo semakin penasaran. Ucapan Chan pasti benar. Sebenarnya Seokmin adalah anak yang baik. Sebagai bukti, hingga sekarang pun Seokmin masih memiliki banyak teman, meski sering bicara kasar.

"Syukurlah kalau begitu. Tapi kamu harus hati-hati. Jangan berkeliaran ke mana-mana. Langsung pulang, ya?" ujarnya, mewanti. Berusaha bersikap layaknya seorang Kakak. Selain itu, Jisoo juga mengeluarkan ponsel genggam dari jas seragam sekolah. Menyodorkannya pada Seokmin. "Boleh aku minta nomor ponselmu? Aku akan menghubungimu setengah jam lagi, memastikan kamu pulang dengan selamat."

Terdengar desahan nyaring. Seokmin mengeluhkan sikap perhatian yang Jisoo tunjukkan. "Aku bukan anak kecil, noona!"

"Ya... Aku tahu, tapi..."

"Noona! Berhentilah memperlakukanku seperti anak kecil!"

Gadis Hong itu terdiam. Mengedarkan pandangan pada penumpang bus lainnya. Mereka saling berbisik. Mencerca Seokmin yang mengenakan seragam SMP, malah membentak seorang gadis berseragam SMA. Pasti mereka berpikir bahwa Seokmin sangatlah tidak sopan.

Jisoo kembali senyum. Memberi isyarat pada penumpang lain bahwa yang mereka lihat tidak seburuk yang dikira. "Iya, maafkan aku. Aku hanya terlalu mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau kita putar posisi? Mulai sekarang, kamu yang harus menjagaku. Kamu bukan anak kecil lagi, kan? Pasti sangat mudah melakukannya."

"Noona," Seokmin melakukan penekanan di sana-sini saat mengucapkannya. Namun, berujung urung. Ia sudah tidak sanggup kembali membentak gadis pemaksa yang satu ini, entah kenapa. Mendesah lagi, Seokmin tersandar. Kesal bukan main. Kepalanya pening saking kesalnya.

Jisoo tersenyum puas untuk mendeklarasikan kemenangan. Ikut bersandar, memandang jalanan di balik kaca. Masih sangat padat. "Aku anggap jawabannya iya. Terima kasih sudah bersedia menjagaku."

Tak mendapat jawaban, namun Jisoo puas dengan diskusi kalut yang baru saja terjadi. Seokmin mengalah. Satu sifat yang nampak sulit untuk Seokmin lakukan jika berada dalam kondisi berbeda. Ini adalah sebuah kemajuan yang pesat.

Sebenarnya, permintaan Jisoo untuk dijaga Seokmin bukanlah berlaku sejak detik itu juga. Namun, Seokmin mengartikannya dengan cara yang berbeda. Seokmin mengantar Jisoo hingga ke depan pagar rumahnya. Jisoo jadi merasa bersalah. Sekarang ini sudah pukul sebelas malam. Tidak baik siswa SMP pulang terlalu larut.

"Terima kasih, Seok, pulanglah. Sampaikan permintaan maafku pada orangtuamu karena sudah menculit anak mereka hingga selarut ini."

"Percuma. Aku tidak pulang pun, mereka tidak akan peduli," sahut Seokmin, seraya berbalik. Melawan arah yang sama persis dengan perjalanan saat mengantar Jisoo ke rumahnya tadi.

Wait Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang