Chapter 22: Cita-Cita dan Cinta

605 123 90
                                    

Benci.
Perasaan pertama yang muncul dalam hati.
Aku ingin menguburmu.
Tak ada bedanya dengan kelonimu.

Tapi.
Pengecualian datang seiring berjalannya hari.
Hati belum bisa menerima pembagian.
Tapi muncul lagi dan merampas sebagian.

Sialan.
Kamu malah selalu melakukan panggilan.
Muncul sedikit harapan.
Mungkin kamu memang beda dari yang ada di hadapan.

Tidak, aku salah.
Kamu tak ada bedanya dengan semua sumber masalah.
Malah memperkeruh keadaan.
Membuatku hilang harapan.

Tapi kembali muncul.
Kali ini perbedaannya kecil.
Aku malah lebih percaya.
Karena sangat mengatakannya, wajahmu bercahaya.

Janji itu bukan permainan.
Akan aku kabulkan di masa depan.
Masih terlalu jauh memang.
Tapi tidak ada salahnya untuk diingat, agar semangat selalu terpanggang.

Di sisi lain, maafkan aku.
Bukan maksudku untuk meninggalkanmu.
Tapi aku punya cara lain untuk menyelesaikan masalahku.
Juga sebagai ujian akhir, menambah keyakinan kalau aku memang yang terbaik untukmu.

Jisoo noona, aku mencintaimu.

Lee Seokmin.

***

Seokmin segera menutup buku hariannya begitu mendengar seseorang tengah berusaha membuka kunci pintu rumah dari luar. Langkah kakinya yang panjang dapat menjangkau ruang tengah dengan mudah. Sosok pria paling tangguh yang pernah ia temui berdiri di sana. Bau keringat, juga baju basah penuh peluh.

Kedatangan beliau disambut dengan bahagia. "Mau kubuatkan minuman?"

Lee Kwanghaeng menggeleng pelan. Mengusap puncak kepala putra tunggalnya dengan bangga. Mendaratkan bokong di lantai. Kelelahan. "Tidak usah. Ayah sudah minum di luar."

Seokmin ikut duduk. Sebelum mulai belajar menulis di buku harian, Seokmin sempat berselancar di internet. Cari tahu bagaimana keadaan dunia luar. Tinggal dalam pelosok terpencil, membuat Seokmin merasa buta tentang banyak hal. "Lima hari lagi pendaftaran masuk SMA berakhir."

Tatapan sendu diterima Seokmin begitu pernyataan tersebut melayang. Seokmin tahu konsekuensinya. Tapi, rasanya kembali iba. Bukan pada sang Ayah, bukan pada nasib beberapa tetangga yang ia tahu jauh lebih menderita dibanding keluarga sendiri. Akan tetapi, Seokmin iba pada dirinya sendiri. Meskipun di sisi lain, ia memang pantas untuk dikasihani. Kesempatannya tinggal sedikit lagi. Seokmin tidak boleh gagal dan menyerah sebelum batas waktu yang ada telah berakhir. Habis tanpa sisa. Walau bahkan hanya tersisa beberapa detik lamanya, harus tetap dimanfaatkan sebaik mungkin.

"Satu-satunya sekolah SMA yang dekat sini hanya satu, jaraknya 3 km. Kamu sanggup jalan kaki?" tanya Kwanghaeng meyakinkan. Tentu ia tidak mau si putra kesayangan mengalami nasib yang sama. Ia juga mau melihat Seokmin sukses dan membuat bangga.

Seokmin menggeleng kuat. Bukan penawaran itu yang ia inginkan. "Keinginanku adalah berada di dunia hiburan. Bernyanyi. Di atas panggung yang megah dengan penonton yang banyak. Aku ingin masuk ke sekolah seni," jelas Seokmin, penuh ambisi. Berusaha meyakinkan. "Aku ingin kembali ke sekolah lamaku. Hanin. Aku dengar ada audisi khusus untuk jenjang SMA. Bahkan akan ada tawaran khusus untuk murid yang berbakat. Aku ingin mengikutinya."

"Lee Seokmin!" tegur Kwanghaeng. Berteriak lantang. Ia sudah memperingatkan sang putra agar tak lagi membahas sekolah itu. Jangan pernah berharap akan kembali ke sana. Ia sungguh tak menyangka kalau Seokmin telah berani menentangnya seperti ini. Tanpa sadar Kwanghaeng memukul meja. Marah. "Kamu ingin kembali ke sana dan membiarkan aku masuk penjara lagi, begitu kah?"

Wait Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang