Chapter 1: Seokmin dan Perempuan

967 138 57
                                    

Cho Seunghee. Wanita yang belum menyentuh umur berangka kepala tiga itu telah mendedikasikan dirinya sebagai guru bimbingan konseling sejak lima tahun terakhir di Hanin Art School. Atau yang lebih tepatnya, SMP Hanin Art School. Terus membolak-balikkan buku catatan, daftar pelanggaran yang telah Seokmin lakukan selama bersekolah di sana. Terdengar helaan napas mengiringinya. Menutup buku tebal itu tiba-tiba, menimbulkan suara yang nyaring. Memang tak berhasil membuat Seokmin ketakutan. Namun setidaknya, berhasil menarik perhatian anak laki-laki itu. Seunghee tersenyum. Mencairkan suasana.

"Dalam sebulan, kamu sudah masuk ruang konseling tiga belas kali. Ini yang keempat belas. Dari sekian banyak kasus hingga duduk di kelas sembilan, delapan puluh lima persen isinya adalah mengerjai perempuan. Sekarang, Miss ingin tanya. Kamu memiliki dendam apa dengan mereka? Apa mereka mengusikmu? Atau, malah kamu sendiri yang anti dengan perempuan?"

Mrs. Seunghee terdiam menunggu jawaban Seokmin. Ia sungguh tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang anak yang sebenarnya emas malah memiliki begitu banyak masalah. Tentu berbagai macam cara sudah dilakukannya. Mulai dari membuat jera dengan memberi hukuman, hingga pelatihan kecil dengan pengawasan ketat. Yang terakhir, Seokmin resmi menjadi perhatian lebih bagi guru Bimbingan Konseling seperti dirinya. Namun, semua itu gagal. Tidak ada yang berhasil menjinakkan seorang Lee Seokmin.

Bukannya menjawab, anak laki-laki itu malah lebih memilih untuk diam. Membalas tatapan guru muda cantik itu, namun tetap membungkam mulutnya rapat-rapat.

"Lee Seokmin... Kamu baru saja naik ke kelas sembilan. Jangan menyibukkan diri dengan hal yang tak bermanfaat. Kamu harus lebih banyak belajar, lalu masuk ke SMA terbaik. Aku yakin kamu tetap ingin bersekolah di sini saat SMA nanti. Kamu terobsesi dengan panggung. Tapi..."

"Ada banyak SMA seni di negara ini," sahut Seokmin, dingin.

Mrs. Seunghee menghela napas. Nampak berat. Merasa sudah lelah. Menunda panggilannya terhadap Seokmin sampai acara pentas seni semester ini selesai, dengan suka rela ia pun menunda pulang ke rumah untuk menemui anak perempuannya yang masih kecil. Semua itu dilakukan hanya untuk memberi bimbingan pada Seokmin. Anak ini malah terus memacu emosinya.

"SMA nanti, kamu tidak ingin sekolah di sini lagi?" tanyanya, berusaha tetap ramah. Biar bagaimanapun, Seokmin memiliki begitu banyak keistimewaan. Ia tidak mungkin membiarkan perkembangan anak ini terkendala, hanya karena bermasalah dengan banyak perempuan.

Keterlaluan memang jika menyebut 'hanya' dalam kasus Lee Seokmin versus perempuan. Tapi juga terlalu dini jika mengatasi masalah seperti ini dengan cara yang ektrem seperti hukuman berat. Cara Seokmin mengerjai mereka masih berada dalam batas yang wajar.

Katak, kecoa, cacing tanah, bekas permen karet, dan masih banyak benda menjijikan lainnya di mata perempuan. Termasuk berudu, si anak katak yang masih memiliki ekor. Setidaknya Seokmin tidak sampai membakar sekolah saat mengerjai mereka. Pihak sekolah harus bersyukur untuk ini.

Bahu Seokmin terangkat. "Aku belum menemukan motivasi untuk melanjutkan sekolah di sini."

"Apa motivasimu memilih SMP di sini?"

"Sekolah ini adalah satu-satunya SMP yang dekat dengan rumahku dan berstatus sebagai sekolah seni. Kalau SMA ada banyak. Ada belasan, selain sekolah ini."

Mrs. Seunghee menggigit bibirnya. Terdiam sejenak. Berusaha mencari akal agar dapat melakukan pendekatan lebih mendalam lagi pada anak yang duduk tepat di hadapannya. Tentu Seokmin bukanlah anak pertama yang memiliki begitu banyak masalah. Harusnya ia sudah mencadangkan beberapa alternatif jika masalah seperti ini terjadi.

"Seokmin, umurmu sudah empat belas tahun. Apa kamu sudah pernah jatuh cinta?"

Seokmin tidak habis pikir dengan pertanyaan Mrs. Seunghee kali ini. Apa hubungannya jatuh cinta dengan bimbingan konseling akibat menjahili perempuan? Alis Seokmin terangkat spontan. Mempertanyakan validitas pertanyaan tersebut. Membuat Mrs. Seunghee tertawa pelan, mencondongkan badan ke arahnya.

Wait Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang