Chapter 7: Aliran Dendam

682 139 85
                                    

Jisoo melirik jam tangan berwarna putih yang tersemat manis di tangan kirinya. Sudah menujukkan pukul sepuluh lewat delapan menit. Beralih pada pengunjung Dokseosil lainnya, beberapa dari mereka yang mengenakan seragam SMP telah selesai membereskan barang bawaan masing-masing. Hendak segera meninggalkan Dokseosil. Bahkan, sebagian besar dari mereka sudah berjalan menuruni tangga.

Pandangan gadis Hong itu beralih pada Seokmin. Duduk di sampingnya, namun bersekat satu buah kursi yang sebelumnya telah diduduki oleh Minghao. Seokmin nampak masih asik menggoreskan ujung pulpen berwarna biru miliknya di atas kertas. Sangat serius mengerjakan tugas.

"Seokmin, sebaiknya kamu pulang sekarang. Istirahatlah. Besok pagi baru selesaikan lagi," tegur Jisoo.

Lagipula, tidak sewajarnya murid SMP pulang terlalu larut malam. Bahkan Jisoo sendiri pun saat masih SMP sering pulang sebelum pukul sepuluh. Pihak sekolah memang membebaskan mereka apakah hendak belajar di Dokseosil atau tidak. Namun, tetap memberi batasan waktu. Murid SMP hanya boleh beraktivitas di sekolah hingga pukul sepuluh malam.

Seokmin tak membalas ucapan Jisoo. Hanya menggeleng, tanpa menoleh. Bahkan gelengan kepalanya sangat lemah. Nampak jelas kelelahan. Merasa diabaikan, Jisoo melajutkan kegiatan belajar.

Masih ada teman-teman Jisoo di sana. Formasi lengkap. Belum ada yang pulang. Namun, seluruh teman Seokmin sudah tak berada di tempat. Chan pulang terlebih dulu meninggalkan sang Kakak karena ingin mengantar Minghao. Paling tidak, hingga ke halte. Meski mendapat amukan oleh Jihoon, bocah itu tak peduli. Beralibi ingin pulang bersama yang lain. Mingyu, Seungkwan dan Hansol.

Sebenarnya Mingyu sudah berusaha keras membujuk Seokmin supaya ikut pulang. Namun, si mancung itu menolak dengan tak kalah kerasnya.

Diam-diam gadis yang tengah menggulung rambutnya tinggi-tinggi itu tertawa geli. Memperhatikan kepala Seokmin yang secara perlahan menunduk. Mata terpejam. Tidur. Lucu sekali. Jisoo tidak bisa berhenti tertawa.

Melihat jas seragam sekolah Seokmin tergantung di sandaran kursi, Jisoo bangkit dari tempat duduknya. Memasangkan jas itu ke punggung si bangir. Setelah sedari tadi berusaha menahan kepala agar tak jatuh ke atas buku, akhirnya Seokmin benar-benar mendarat di sana.

Jisoo tak sadar sedari tadi diperhatikan oleh teman-temannya. Bermacam-macam reaksi mereka tunjukkan. Jihoon, Wonwoo dan Jeonghan memandangi Jisoo aneh. Dua orang lelaki yang masih memiliki nyawa, malah memandang dengan rasa penuh iri dan dengki. Tak terima telah kalah saing dengan seorang murid SMP.

"Soo, kamu tidak jatuh cinta pada Seokmin, kan?" tanya Jeonghan.

Alis Jisoo terangkat naik. Memandang Jeonghan bingung. "Kenapa?"

"Jawab saja," Wonwoo ikut berkomentar.

Tentu Jisoo menggeleng ribut. Menyanggah pertanyaan Jeonghan. Membuat Jun dan Seungcheol bernapas lega. "Jangan bercanda. Seokmin sudah seperti adikku sendiri. Kalian lihat, kan? Dia sangat lucu, aku gemas!"

Jun terbelalak. Menutup buku, mengajukan protes. Ini tidak bisa dibiarkan. "Aku setampan ini kamu tidak gemas, biasa saja. Kenapa melihat anak badung itu tidur bisa sampai memekik? Salah minum obat?"

Seungcheol mengangguki. "Jun, mulai detik ini kita harus berhati-hati. Mingyu tadi juga menunjukkan gelagat yang membahayakan."

Spontan mereka semua memandangi Wonwoo. Membuat gadis itu merasa terpojok.

"Apa?" tantang Wonwoo, dengan wajah yang tidak santai. "Aku berbeda dengan Jisoo. Kalian menghitung berapa kali aku memarahi Mingyu? Baru bertemu hari ini sudah berani meminta kontak. Jisoo sebaliknya, malah dia yang mendekati Seokmin."

Wait Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang