Chapter 10: His True Colors

648 135 65
                                    

Jisoo terus memikirkan ucapan Mrs. Seunghee. Lagi-lagi pertanyaan lama mencuak dalam benaknya. Kenapa harus Jisoo? Kenapa tidak Jihoon, Jeonghan, Wonwoo, atau gadis SMA lainnya?

Baiklah, Jihoon memang tidak mungkin. Secara otomatis dia akan keluar dari daftar kandidat karena sudah memiliki kekasih. Tapi, Jeonghan dan Wonwoo masih jomlo. Dan Jisoo yakin, siswi SMA yang masih berstatus jomlo ada banyak. Bukan hanya mereka bertiga. Sekali lagi, kenapa harus Jisoo?

Sebenarnya Jisoo sama sekali tidak mempermasalahkan dirinya yang dipilih untuk menjadi obat penyembuhan Seokmin. Jisoo mau. Entah kenapa, Jisoo merasakan kebahagiaan yang lain semenjak berusaha dekat dengan Seokmin. Akan tetapi, Jisoo mempersoalkan cara yang diterapkan oleh Mrs. Seunghee dan Chan. Seokmin masih SMP, tidak boleh berpacaran.

Mrs. Seunghee memberi Jisoo sedikit pilihan. Kalau memang kamu tidak menyukai Seokmin, setidaknya buat laki-laki itu terbiasa dengan kehadiran perempuan, kata beliau. Jisoo sempat hendak melakukan berontak setelah mendengar kalimat itu. Namun urung, karena memang belum yakin.

Mengingat bahwa Jisoo juga lulusan di SMP tersebut, terdengar sedikit aneh kalau ia tidak kenal dengan Seokmin sebelumnya. Saat Jisoo masih kelas sembilan, Seokmin baru masuk di kelas tujuh. Ah ya... Jisoo sedikit menyesali sifatnya dulu yang tak peduli dengan lingkungan sekitar. Kalau sejak awal Jisoo memiliki banyak teman, paling tidak, pasti sejak awal ia tahu bagaimana hebohnya Seokmin membuat onar.

Saat SMP, Jisoo hanya dekat dengan satu orang. Yoon Jeonghan.

Saking sibuknya berpikir, Jisoo jadi tak sadar telah melangkahkan kakinya ke arah mana. Biarlah. Sudah lama juga ia tidak masuk ke lingkungan SMP Hanin. Setelah resmi dinyatakan lulus, Jisoo layak disebut sebagai kacang yang lupa dengan kulitnya. Tak pernah lagi berkunjung ke sana.

Dari tempatnya berdiri, Jisoo dapat mendengar dentingan piano. Samar. Jisoo memutuskan untuk mengikuti, mencari sumber suara. Semakin jauh langkah Jisoo, semakin jelas pula suara itu terdengar. Namun, menghilang secara ajaib untuk sesaat. Langkah Jisoo jadi ikut berhenti dibuatnya. Kehilangan pijakan. Kehilangan petunjuk.

Tidak lama, suara piano tadi kembali menyapa telinga Jisoo. Namun, kali ini bukan permainan sebuah lagu. Beberapa tuts telah ditekan secara bersamaan dalam sekali hentakan. Menimbulkan suara nyaring tak bermelodi. Kening Jisoo mengerut. Berlari kecil untuk menjangkau suara itu dengan cepat.

Jisoo berhenti di depan satu ruangan. Disebutnya sarang ekskul musik. Sebagai juga mantan anggota klub, ruangan itu sempat terasa seperti rumah ketiga. Setelah rumah sungguhan dan ruang kelas.

"Seokmin?" panggilnya, begitu berhasil membuka pintu dan mendapati Seokmin di dalam sana. Seorang diri, di depan sebuah piano. Gadis Hong itu dapat melihat dada Seokmin yang naik-turun setelah dipanggil. Tak menjawab, enggan menoleh. Pandangannya kosong, ke arah tuts yang masih ditekan.

Baru satu langkah memasuki ruangan itu, Jisoo mengurungkan niatnya untuk mendatangi.

"Noona bisa pergi sekarang. Aku tidak butuh belas kasihan dari noona. Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih sudah mau mencoba."

Jisoo merasa deja vu mendengarnya. Suara yang lebih layak disebut lirihan itu pernah Jisoo dengar sebelumnya. Di malam mengenaskan. Saat pertama kalinya Seokmin menunjukkan sisi lemah di hadapan Jisoo. Gadis itu merasa takut meski Seokmin hanya bicara pelan. Firasatnya tak baik, karena lirihan yang kemarin ditujukan pada sang Ayah, kini ditujukan pada Jisoo.

"M-maksudmu?"

Seokmin memainkan pianonya lagi. Dengan kepala bergoyang teratur. Ke kiri dan ke kanan. Coba menikmati lagu yang ia bawakan. True colors, milik Kesha dan Zedd. Jisoo terkagum. Seokmin memang bodoh dalam pelajaran Bahasa Inggris. Seluruh lirik diucapkannya dengan pelafalan asal dan logat Korea yang kental. Namun syukurnya, masih bisa Jisoo mengerti dengan baik.

Wait Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang