Cuaca pagi ini cukup cerah. Sangat pas untuk weekend di tempat-tempat terbuka. Menggelar tikar dengan berbagai macam makanan di atasnya sambil duduk dan bercanda bersama orang tercinta. Tapi sayangnya hari ini gue harus mempersiapkan diri lebih dari sekedar menghabiskan weekend.
Sekali lagi gue berdiri di depan kaca, mengecek penampilan gue yang terlihat seperti akan berkencan. Iya kencan terakhir gue sama dia. Cincin itu masih terpasang cantik di jari manis gue. Tatapan gue kosong kedepan, entah kenapa rasanya seperti hampa.
"Rin." Suara Kak Taeyong membuyarkan lamunan gue. Dengan berat, gue menghela napas mempersiapkan diri untuk sesuatu yang gue sendiri nggak tau apa yang bakal terjadi.
Gue keluar kamar, tepat di depan pintu kamar gue Jeno sama Kak Taeyong berdiri natap gue. "Apa?"
"Lo pikirin baik-baik, keputusan lo." Gue mendecih mendengar perkataan kak Taeyong.
"Bukannya lo ya, yang kemaren ngebet banget nyuruh gue berhenti?"
"Lo udah tau alasannya."
"Hm."
"Apa waktu lima tahun nggak cukup?"
Gue lagi-lagi mendengus. "Kak, waktu lima tahun, waktu yang di buat untuk membangun sebuah komitmen nggak akan bisa buat gue berubah. Ibarat lo bangun hotel 24 lantai dalam waktu 5 tahun, dan lo mau hancurin itu nggak akan sampe 5 tahun buat bikin bangunan itu bener-bener hancur."
"Ini bukan cuma soal lima tahun atau hubungannya kak. Tapi ini juga untuk masa depan. Kalo di awal gini aja dia udah nggak bisa jujur ke gue, gimana nasib rumah tangga gue nanti? Gimana nanti kalo kita hidup sama-sama dalam hubungan yang sakral? Kalo disini aja dia udah acuhin gue, seolah-olah gue nggak ada, seolah-olah gue itu disepelekan. Gue nggak bisa. Apa itu cukup buat jawab semua perilaku dia selama lima tahun ini?"
Kak Taeyong diam. Gue udah mau nangis aja rasanya. Emangnya dia pikir gue nggak sakit? Emangnya di pikir gue nggak kecewa? Gue nggak hancur? Kenapa jadi seolah-olah gue yang bener-bener salah disini?
"Sekarang gue tanya, apa lo mau ade lo terus-terusan nyimpan rasa sakit? Kalo lo bisa liat perasaan dan hati gue, mungkin lo bakal jijik karena sangking banyaknya luka yang dia buat."
"Dek, gue–"
"Udah kak, gue nggak mau debat dan nggak memperpanjang masalah. Gue mau ini semua selesai hari ini, dan besok gue mau lanjutin hidup gue kayak dulu. Tanpa mereka yang selalu ngacauin kenormalan jiwa gue." Gue dekatin Kakak gue dan meluk dia.
"Gue nggak mau kak kehilangan orang yang bener-bener gue sayang cuma karena kasian sama yang lain. Gue nggak mau kejadian Kak Yuta keulang lagi. Udah terlalu banyak hal dikorbankan selama ini cuma untuk mempertahankan hubungan gue sama Mingyu. Tolong ngertiin gue, gue yakin lo pasti mau yang terbaik buat gue. Dan ini yang terbaik."
Kak Taeyong ngelus punggung gue. "Maafin gue."
Gue ngelepas pelakunya dan mengusap air mata gue. "Makasih kak. Gue pamit dulu."
"Hati-hati."
Gue ngangguk dan turun ke bawah. Gue liat Mingyu lagi duduk di sofa, sambil main handphonenya. Biasanya kalo dia begitu, gue suka marah dan jengkel tapi, sekarang gue nggak ada niatan buat protes apapun yang dia lakukan. Gue ngedekatin dia, berdiri di depannya sampai dia sadar sendiri.
Nggak lama dia sadar dan dongak ngeliat gue. Matanya sedikit sembab, entah karena nangis, kena angin, atau kelamaan main handphone. Dia senyum ke gue, senyum yang nggak biasanya gue liat. Gue baru ini ngeliat dia senyum kayak gitu.
"Udah siap?" Gue ngangguk. "Hari ini boleh kan gue masih manggil lo sayang?"
Gue diam beberapa saat, setelah itu mengangguk setuju. Dia senyum sambil ngacak rambut gue, seperti biasa dia narik gue buat di rangkul. Itu kebiasaan kita, kita bukan tipe orang yang kalo jalan suka gandengan, Mingyu lebih senang ngerangkul gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect | Kim Doyoung ✓ [Sudah Terbit]
Fanfic[FULL VERSION] 𝓦𝓱𝓮𝓷 𝓭𝓮𝓼𝓽𝓲𝓷𝔂 𝓪𝓬𝓽𝓼 𝓽𝓱𝓮𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻𝔂𝓽𝓱𝓲𝓷𝓰 𝔀𝓲𝓵𝓵 𝓫𝓮 𝓹𝓮𝓻𝓯𝓮𝓬𝓽 - 𝐊𝐢𝐦 𝐃𝐨𝐲𝐨𝐮𝐧𝐠 Cover by : karin ©Shereen2018 Highest rank #2 in kim Highest rank #1 & #42 in ff Highest rank #8 in Yuta Highest rank...