2.13 | Alone

17.9K 2.2K 226
                                    

Pagi ini gue bangun lebih awal, bukan karena kebangun seperti biasa, tapi karena gue nggak tidur semalaman. Padahal pagi ini jadwal praktik gue lumayan padat. Gue jalan ke arah kaca, ngeliat penampilan gue yang sedikit mengenaskan. Mata sembab, muka bengkak, kantung mata super hitam, dan muka gue sedikit pucat.

"Rin, lo yang mau ini berakhir lo putusin semuanya. Ayo hidup normal." Gue semangatin diri gue sendiri. Setelah itu gue jalan ke kamar mandi buat siap-siap pergi kerja.

+++

Cukup lima belas menit gue sampe di RS pake gojek pribadi. Siapa lagi kalo bukan Jeno.

"Eh kak, mana?" Tadah Jeno.

Gue ngangkat alis gue sebelah. "Apa?"

"Ya masa nggak bayar sih? Dari rumah kesini tuh 3 kilometer, bensin berapa? Terus tadi gue juga bawa lo cepet kan, resikonya banyak."

Kalo disuruh pilih mah, gue mending naik gojek beneran daripada harus sama nih bocah. Bayarannya lebih murah babang gojek daripada dia. Gue pun ngeluarin uang seratus ribu tiga lembar. Untung ade gue lo.

"Cantik banget kakak gue." Setelah nerima uangnya dia langsung nyalain motor. "Pergi ya kak. I love you."

Gue cuma menggeleng begitu motor Jeno sudah keluar dari sekitar RS. Gue pun langsung masuk ke dalam dan melakukan aktifitas gue seperti biasa.

Pasien hari senin biasanya memang lebih banyak dari hari-hari lain, apa lagi sekarang lagi pergantian musim jadi banyak anak-anak yang rentan sakit. Bahkan gue lagi-lagi nggak nyentuh hp sama sekali.

Setelah lama berkutat dengan pekerjaan, gue pun mengistirahatkan tubuh gue sejenak. Kapala gue rasa pusing banget. Mungkin efek nggak tidur juga. Di saat begini lah gue ngerasa benar-benar sendiri. Terlebih gue baru aja melepaskan orang yang selama lima tahun ini selalu di samping gue.

Kalo di ingat lagi rasanya ada sedikit rasa ketidak relaan di hati gue, tapi gue harus ngelepas dia karena gue udah cukup sakit atas segala perbuatannya. Apa yang kalian liat selama ini nggak sebanding sama apa yang nggak kalian tau. Gue berusaha sebaik mungkin buat nutupin itu dari semua orang termasuk kakak gue sendiri.

Gue terlanjur sayang sama dia saat itu, tapi rasa sakit yang dia kasih mampu mengalahkan rasa sayang gue ke dia.

Udah cukup. Gue nggak mau bahas itu lagi. Sekarang kita sudah di jalan masing-masing. Meksi pun masih ada sepercik ingatan tentang betapa tadi malam dia berusaha buat perpisahan jadi indah dan terlihat baik-baik saja. Gue akuin itu sesuatu yang dewasa untuk kita kedepannya. Ini juga bisa jadi pelajaran bahwa perpisahan nggak selalu tentang rasa sakit dan kehilangan tapi juga tentang bagaimana menghargai keputusan dan kedewasaan.

Setelah cukup untuk berisitirahat. Gue kembali pada aktivitas gue lagi. Bertemu dengan anak-anak lucu, ibu hamil, atau bahkan pasangan baru. Rasanya mereka semua cukup untuk membuat gue lupa akan masalah gue sendiri. Mereka seakan membagi kebahagiaan buat gue, dan gue harus berbalas budi dengan menyembuhkan mereka setulus hati gue.

Nggak terasa waktu sudah banyak berlalu. Sekarang pukul delapan malam. Baru ini gue memperpanjang jam praktik gue, biasanya jam lima gue udah siap-siap pulang. Tapi bahkan sekarang aja gue masih ada satu pasien lagi.

Setelah menangani pasien itu, gue lekas beres-beres ruangan. Gue juga ganti baju dan cuci muka. Gue sengaja nggak poles muka gue, gue terlalu capek hari ini. Dan yang ada dipikiran gue sekarang adalah tidur bareng sapi-sapi baru gue.

"Saya duluan, ya nanti kuncinya taruh di loker loby." Pamit gue pada asisten gue.

"Iya, Dok."

Gue pun langsung pergi keluar rumah sakit. Hari ini gue mau jalan kaki aja. Gue lagi pingin sendiri dan tenangin semua pikiran gue. Gue terlalu lama frustasi sama segala masalah yang ada selama ini. Sampai-sampai gue lupa cara menikmati waktu sendiri.

Perfect | Kim Doyoung ✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang