Gue keluar dari bus dan mencari keberadaan Raven, yang katanya udah di sini. Sebenernya, gue capek, pengen tidur di rumah. Tapi, Raven mau ngomongin soal itu. Jadi gue gak bisa pulang sekarang.
"Zoe!"
Gue menoleh, menemukannya memegang dua cone es krim. Dan gue langsung memutar bola mata malas. Bukan karena dia malah makan es krim, tapi karena semua pandangan orang di sekitar sini tertuju padanya.
Emang kalau ganteng selalu jadi pusat perhatian.
"Nih," ucap Raven memberikan satu rasa stroberi untuk gue.
"Makasih," balas gue sambil menerima dengan senang hati.
Ia tersenyum manis, lalu mengambil alih tas gue. "Lo ketemu Viona, ya?"
"Iya."
"Viona bilang ke gue kemarin. Dia juga kirimin gue foto ini," jelas Raven menunjukkan foto yang dijadikan wallpaper hapenya.
What!?
Viona! Lo janji gak sebar-sebar! Lo emang bukan anak yang pendiem!
"Heh! Kok lo-"
Teriakan gue terputus karena Raven mengulurkan tangannya ke arah leher kanan gue. Ia menyentuh plester boneka di sana. Dari wajahnya muncul ekspresi sedih, dan ia menggigit bibir, seolah menahan diri untuk nggak bertanya.
Gue mengalihkan pandangan, lalu bertanya, "Tau dari mana lo?"
"Viona juga kirim video waktu lo muter. Gue lihat ada perban kemarin," jawab Raven.
Hah!?
Ale-ale! Lo videoin juga!?
"Cerita sama gue, Zo. Apa yang terjadi sama lo?"
Aduh.
Gue males cerita tentang diri gue. Habis nyelekit, sih.
"Difitnah, kena salah paham, dihianati, dan dikurung," jawab gue. "Gue juga menghancurkan mimpi orang dan membuat trauma seseorang."
Raven terkekeh. "Lo gak mungkin bisa menghancurkan mimpi orang lain."
"Nyatanya gue bikin orang lain kehilangan tangannya gara-gara gue," jawab gue jujur. "Gue juga bikin Gege trauma, padahal dia sahabat gue."
"Siapa si Gege ini?"
"Temen baik gue. Waktu SD, gue sering pulang bareng dia. Orang tua gue juga deket sama orang tuanya. Bisa dibilang gue sama Gege itu-"
"-Udah, gak usah dilanjutin."
Hah?
Dengan wajah kesal, Raven melempar tisu es krimnya ke tempat sampah. "Ayo cepet," katanya. "Gue bawa mobil, jadi lo bisa tidur."
Eh?
Ah.
Hmm.
Gitu toh.
"Ven, lo cemburu?" tanya gue sambil tersenyum jahil.
Raven mendengus. "Enggak."
"Jangan-jangan lo cemburu sama Gege, makanya lo pengen gue pulang?"
Raven berhenti melangkah dan menoleh ke gue dengan wajah kesal. "Menurut lo? Lo pikir gue segampang itu percaya? Gue tau seorang Zoe itu bukan orang yang bisa menyakiti orang sampai kayak gitu."
Hebatnya, gue tercengang.
Seketika, gue inget kata-kata Alo sebelum gue naik ke bis,
"Kalau gue suka sama cewek, gue gak akan semudah itu percaya perkataan orang lain soal cewek itu. Gue bakal tunggu sampai dia bilang sendiri ke gue."
Gue tersenyum lebar. "Lo percaya sama gue?"
Raven mengangguk dan menggenggam tangan gue. "Gue bakal tunggu sampai lo sendiri yang bilang."
Gue blushing, gais!
"Makasih."
"Sekarang, lo tidur dulu. Gue tau lo capek banget, mata lo udah kayak panda."
"Gue emang gak bisa tidur dari kemarin," balas gue. "Soalnya, kalau gue tidur, gue bisa gila."
"Maksud lo?"
"Kalau gue mimpi kejadian di masa lalu waktu gue tidur, pas bangun tangan gue pasti udah luka," jawab gue. "Gue ini gila, Ven."
Raven berdecak. "Jangan ngomong kayak gitu. Kalau lo lakuin itu, gue tinggal bangunin lo 'kan?"
Iya, sih.
"Jadi, lo bisa berhenti melukai diri lo sendiri." Raven menunjuk jari telunjuk gue yang masih berplester. "Apa ini luka baru?"
"Iya. Kemarin."
Raven menghela nafas gusar. "Apa gue harus sedia plester, ya?"
Makasih.
Makasih.
"Raven," panggil gue.
"Apa?"
"Gue gak pernah suka sama Gege. Emang sih dulu gue sering dijodoh-jodohin, tapi gue gak suka sama dia."
"Terus lo ngapain ngomong ke gue?"
"Kali aja lo masih cemburu."
"Ck."
Gue terkikik dan masuk ke dalam mobil Raven. Begitu Raven menjalankan mobilnya, gue bertanya padanya.
"Apa lo mau dengar cerita gue?"
"Kapan saja."
"Jangan bertindak gegabah," peringat gue sebelum bercerita. "Kalau lo gegabah, gue bakal membenci lo seumur hidup."
"Oke."
Gue pun menceritakan semuanya. Tentang Lily, tentang Gege, tentang Tirani, tentang bayangan gelap itu, dan tentang taruhan.
.
.
.
"Makanya, gue gak mau orang lain ikut campur soal masalah gue. Lily bisa melakukan apa aja yang dia mau."
Gue bersandar ke pintu dan melihat ke luar pada jalanan yang dihias langit oranye.
"Gue gak mau orang lain terluka lagi."
"Tapi, kalau lo terus menerus melakukan itu, lo malah melukai diri lo sendiri," balas Raven dengan tangan kiri terjulur menahan tangan kanan gue yang sedang menusuk-nusukkan jari telunjuk gue ke bagian tajam hiasan kucing di dashboard depan gue. "Bukan cuma fisik, tapi mental juga 'kan."
Gue segera menarik tangan gue. "Maaf."
"Pengawasan gue harus ekstra biar lo gak terluka lagi, ya."
"Makasih."
Masih ada satu lagi yang belum gue ceritakan ke siapapun.
"Raven, satu hal yang rahasia lagi, apa gue bisa ceritain nanti kalau gue udah menerimanya?"
"... Hidup lo rahasianya banyak amat ya."
"Memang. Yang satu ini, yang bikin gue gila."
><
KAMU SEDANG MEMBACA
About Zoe {END}
Teen FictionGue, Zoe Violetta. Seorang cewek yang berusaha menutup dirinya, menjauhi pandangan orang-orang, dan hanya ingin melewati masa SMA biasa. Gue gak berharap ada sesuatu menarik di hidup gue. Tapi gue selalu berharap, setidaknya gue gak sendirian. Kalau...