38 : Kafe Baru

41 4 0
                                    

Singkat cerita, di rumah Oma gue berhasil menamatkan satu game detektif-detektif-an dan berhasil mencapai level 24 di game zombie-zombie-an.

Setelah tiga hari di sana, gue balik. Sesuai rencana, Ale-Alo ikut. Tapi sesuai dugaan, keluarga gue belum balik dari rumah nenek gue yang satunya.

Kalau nggak salah, mereka memang mau di sana sampai dua minggu. Gue juga sebenernya disuruh di rumah Oma satu minggu, terus gue langsung ke rumah Nenek dan menghabiskan satu minggu lagi di sana.

Rencananya, liburan gue gak bakal jadi sunyi. Tapi, itu cuma rencana, guys. Sekali lagi, itu hanya sekedar rencana. Yah, kalian tau lah, rencana itu ada yang beneran mau dipenuhi ada juga rencana yang cuma sekedar rencana. Dan gak semua rencana itu selalu berjalan mulus.

Ya kayak gue ini contohnya.

Siapa sangka, Oma ternyata mau dijemput anaknya yang paling bungsu—alias om gue—buat liburan di Sumatera. Berhubung gue tau Oma lebih sayang anak daripada cucu, gue sadar diri dan pulang secepatnya.

Gimana pun juga, gue ini anak baik, gengs.

Semua kejadian di atas mengartikan, bahwa untuk beberapa hari rumah gue bakal sepi.

Artinya, Ale-Alo bakal nginep sampai entah kapan.

Artinya, gue bisa bebas mau ngapain aja sama mereka.

Artinya lagi, gak ada yang bakal cerewet sama gue!

Ah ... kalau setiap hari kayak gini, dunia pasti bakal indah.

Karena itu sekarang, gue lagi jalan-jalan sama si kembar dan Hanny, buat mencari tempat yang cocok untuk membangun kafe-rumah makan keluarga itu.

Niatnya gitu, tapi sekarang kita malah wisata kuliner.

"Eh, eh, ayo beli itu!" ajak Ale, yang paling bersemangat.

"Waw, gue baru tau kalau ternyata ada juga yang jualan itu di daerah ini," gumam Hanny.

"Aku enggak, ya," kata Alo, yang memang gak terlalu suka manis, tapi setiap hari kerjaannya bikin yang manis-manis.

Gue? Gue mah ngikut aja. Perut gue menerima segala macam makanan selama itu gak pedes dan bukan sayur.

Karena emang lagi sepi pembeli, gelato rasa cokelat pun sudah ada di tangan gue.

"Hei."

Gue, Hanny, dan Alo kompak menoleh pada panggilan serius Ale.

Dengan mata berbinar, tangannya menunjuk ke sebuah tempat. "Itu, itu! Itu dijual 'kan!? Aku mau itu! Ya?"

Sebuah tempat seperti bekas kafe dengan tanda 'dijual' di pintunya. Dindingnya putih dan sedikit agak tertinggal.

Meski begitu, biasanya, firasat Ale gak pernah salah.

"Jadi, jadi, nanti kita gak perlu bangun 'kan? Kita cuma perlu benerin aja. Sambil nunggu, kita bisa cari barang-barangnya dan juga cari pegawai 'kan? Daerah sekitarnya juga ramai, dekat sama alun-alun. Karena itu keliatan kayak bekas kafe, berarti udah cukup dikenal 'kan? Jadi tempat baru yang akan kita bikin juga pasti cepat terkenal," jelas Ale penuh semangat.

Hanny dan Alo saling melirik, lalu mengangguk paham. "Oke, kita lihat dulu."

Setelah berjalan dua jam, ini pertama kalinya mereka serius cari tempat.

>•<

Gak seperti dugaan, ternyata Alo-Ale ditambah Hanny, cepat menyelesaikan kafe-rumah makan keluarga mereka. Gue pikir, kegiatan mereka baru akan selesai setelah liburan.

About Zoe {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang