#7. Panggilan

153 10 0
                                    

“Itu bukan salahku” protes Simon.

Dia duduk di kursi tamu, kepala sekolah duduk di hadapannya. Wanita cantik dan seksi, berada di kursi mewah. Rambut panjang disanggul rapi, layaknya wanita yang hidup zaman kraton, kacamata merah tanpa lensa terpasang di hidung mancung. Kepala sekolah melipatkan kedua tangan, dan berjalan mengitari Simon. Ketukan sepatu yang khas Simon dengar, dia merebahkan punggung, menatap wajah kepala sekolah. Kepala sekolah duduk, lalu membaca laporan yang dibuat oleh staf dan para guru yang melihat perbuatan Simon.   

        “Berkelahi di jam istirahat, berbuat onar di jam pelajaran, melakukan hal tidak pantas di kelas, dan berkata kasar serta merendahkan martabat manusia. Ya ampun Simon, kau tidak pantas tersinggung dengan hal sepele.” Ucap kepala sekolah.

“Itu bukan salahku, Mama. Dia yang memulai duluan” protes Simon.

“Dia hanya menabrakmu bukan menusukmu dari belakang dengan belati perak. Rian hanya manusia biasa, bukan pemburu vampire. Simon, ibu tau kau membenci manusia. Tapi kau harus menahan emosimu untuk sesaat di dalam lingkungan sekolah atau di luar lingkungan sekolah” Nasihat kepala sekolah.

Simon merapatkan gigi geraham, mengepal tangan. Tidak adil. Simon tidak tahan menahan diri, terutama sesuatu paling dibenci. Manusia. Seseorang mengetuk pintu, kepala sekolah mempersilahkan Rian masuk. Rian duduk di sebelah Simon, Simon mempunyai firasat setelah Rian berada di sini. Simon beranjak dari kursi, hendak keluar. Namun kepala sekolah mencegah itu terjadi, Simon tidak bisa beranjak dari kursi. Dasar nenek-nenek! kesal Simon, kepala sekolah bersikap ramah terhadap Rian. Kepala sekolah menasehati Rian dengan baik, teguran kepada Rian hanya secara lisan.

“Saya mengerti. Maaf Bu. Rusmanama atas kesalahan saya perbuat” sesal Rian.

“Hah, sok sopan palingan takut dihukum” cetus Simon.

Rian melirik Simon, Simon memalingkan wajah. Simon mendengus, berusaha menggeserkan kursi yang didudukinya sekuat tenaga. 

“Apa yang kau lakukan?” tanya Rian.

“Nothing” balas Simon. “Dasar manusia barbar.”

“Simon!!” bentak Bu. Rusmanama.

Simon diam, sedangkan Rian menghembus napas panjang dan lebih diam setelah mendengar perkataan Simon.

“Bu, saya permisi dulu” ucap Rian.

Dia beranjak dari kursi, hendak keluar.

Kepala sekolah melotot ke arah Simon, “apa yang kau pikirkan, Simon? Sudah ibu bilang, ‘kau kau harus menahan emosimu’. Bahkan terhadap Rian. Tolong Simon. Aku ingin kamu bersikap baik kepadanya.” Mohon Bu. Rusmanama.

“Kenapa?” pelan Simon, “kenapa aku harus baik kepadanya?!” marah Simon.

Dia berjalan di tempat yang sama, melipat tangan. “Kenapa ibu menyuruhku untuk diam, berbicara manis terhadap manusia. Ibu juga sebenarnya membenci manusia, bahkan merendahkan martabat mereka di depan semua siswa saat upacara pembukaan sekolah. Aku masih ingat, ambisi ibu menghancurkan umat manusia.”

Simon meninggalkan ruangan Bu. Rusmanama, meja sekretaris penuh dokumen dan komputer belum dimatikan. Simon menyandarkan punggung ke pintu, menatap lantai.

“Menyebalkan” ucap seseorang, Rian duduk di kursi yang disediakan.

Simon sedikit kaget, kemungkinan besar Rian mendengar percakapan Simon dan Bu. Rusmanama. Lalu Simon duduk disebelah Rian, dan memperhatikan gerak-gerik Rian. “Hmm” deham Simon, pura-pura batuk. Simon merasa bodoh, ‘berpura-pura batuk? Dia tidak akan cemas atau memberi obat batuk secara gratis.’

“Ini” kata Rian, sambil menyodorkan obat batuk pada Simon. Simon menoleh, menatap wajah menyebalkan di sebelahnya. Diam, dia masih memperhatikan obat itu.

“Kamu mau atau tidak?” tanya Rian, Simon menerima obat batuk karena emosional dan terpaksa.

“Perhatian banget, padahal kamu gak usah kasih aku obat” ketus Simon, menyimpan obat ke dalam saku jas sekolah “lagian aku tidak sakit karena batuk...”.

“Terserah. Lebih baik mencegah daripada terlanjur sakit. Lagian aku benci suara jelek. Atau kuman yang berterbangan sekitarku” Rian menyergah, tatapan matanya tajam, gestur wajahnya tenang.

Simon menelan ludah, mengangkat bahu. “Hei! Aku hanya katakan terima kasih. Aku tidak ingin mendengarkan keluhanmu. Itu saja,” protes Simon.

“Aku membencimu,” balas Rian, melipat tangan dan memalingkan wajah.

“Aku lebih membencimu. Makhluk rendah” kentus Simon.
“Apa yang kau katakan, Monster?” marah Rian.
“Kau makhluk rendah. Dasar cerewet” bentak Simon, menunjuk-tunjuk ke arah Rian.
“Dari tadi ajak berantem terus. Pergi sana, bau mayat” Rian tidak kalah bicara.

“Iya, aku memang bau mayat juga tidak suka sinar matahari. Aku lebih baik dibandingkan makhluk hidup, berlendir, dan bau mulut sepertimu” Simon melotot. Dia sejenak menatap Rian, lantas beranjak dari kursi. Berkacak pinggang, “bahkan aku tidak ingin melihat wajahmu. Atau mengetahui keberadaanmu. Di dunia ini, aku yang memilih ‘siapa’ yang pantas tetap di sekolah ini? Dan siapa yang pantas untuk angkat kaki dari sekolah ini.”

“Oh, i’m scared” ucap Rian, sedikit tertawa. “My dare, aku tidak suka ancamanmu. Aku memang tidak pantas berada di dunia lain. Tapi, aku punya hak untuk belajar di sekolah ini.” Rian senyum jahat, dia berdiri di hadapan Simon, mengambil secarik kertas di saku rompi.

“Apa itu?” tanya Simon.
“Ini adalah bukti. Kalau aku pantas berada di sekolah ini” jawab Rian, sambil memperlihatkan dokumen resmi, dengan cap dan tanda tangan kepala sekolah. Ibu Simon. Rian menyimpan kembali, sebelum Simon mengambil dokumen dari tangan Rian.

“Hah! aku tidak peduli. Kau tetap manusia barbar, tidak berakal, dan sering terlambat masuk kelas.” Jawab Simon.
“Terserah, padamu. Napas bau.” ketus Rian.
“Heem, apa yang kau bilang. Otak monyet?” sombong Simon, menyikut Rian.

“Lo! Itu menyebalkan. Baru ketemu sudah ajak berantem. Maunya apa sih, lo?!” kesal Rian, cubit pipi Simon.
“Apanya baru ketemu. Kita sudah jadi satu kelas tau!” ketus Simon, menyingkirkan tangan Rian dari wajahnya.

Rian mengangkat sebelas alis. "Oh, gitu. Dadah..."
Lantas dia pergi begitu saja.
"Damn.."
Simon sempat mengumpat sesaat Rian menoleh ke belakang.

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang